REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bogor memperkirakan upah minimum kota/kabupaten (UMR) di Kota Bogor mengalami kenaikan pada tahun depan. Peningkatan tersebut dapat mengakibatkan banyaknya perusahaan di Kota Bogor terancam gulung tikar.
"Ya pasti ada, beberapa perusahaan yang nggak kuat untuk membayar UMK," kata Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Kelembagaan Disnaker Kota Bogor Prihatno saat di temui di Kantor Disnaker Kota Bogor, Rabu (6/11).
Tahun ini saja, Prihatno menjelaskan terdapat sejumlah perusahaan yang telah gulung tikar. Diantaranya, PT Sahabat Unggul Internasional dan PT Pintu Mas yang sama-sama bergerak di bidang koveksi atau padat karya.
Dari dua perusahaan tersebut, Prihatno mengatakan, banyak karyawan yang kehilangan lapangan pekerjaan. "Karena dua perusahaan itu tutup ada sekitar 1.000 lebih orang yang kehilangan pekerjaan," ujarnya.
Dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-M/308/HI.01.00/X/2019 tanggal 15 Oktober 2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019. Dalam edaran itu, disebut kenaikan sebesar 8,51 persen yang berlaku untuk seluruh provinsi di Indonesia.
Prihatno menuturkan, UMK di Kota Bogor tahun 2019 sebesar Rp 3.842.752. Artinya, lanjut dia, angka itu akan ditambahkan dengan kenaikan yang telah ditetapkan pemerintah pusat sebesar 8,51 persen atau Rp 327.054.
"Jadi kalau ditambahkan. Tahun sekarang itu perkirakan berdasarkan inflasi pertumbuhan nasional tadi itu Rp 4.169.806 pada tahun 2020," katanya.
Dia menjelaskan, Disnaker Kota Bogor akan segera melakukan pembahasan dengan pihak yang terlibat seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Bogor, Serikat Pekerja Nasional (SPN), dan akademisi dari perguruan tinggi. Sehingga, UMK Kota Bogor tahun 2020 dapat diajukan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar).
"Ada perwakilan dari para pengusaha, perwakilan dari para buruh, dari perguruan tinggi, dan pemerintahan. Itu besok (Kamis, 7/11) finalisasi untuk diajukan ke provinsi," ujarnya.
Ketua Apindo Kota Bogor Sukoco membenarkan, banyak perusahaan di Kota Bogor yang terancam gulung tikar. Karena itu, dia meminta pemerintahan juga memperhatikan kemampuan perusahaan di Kota Bogor.
"Jangankan sekarang (UMK) naik, yang lalu saja ada dua perusahaan gulung tikar," tegasnya.
Sukoco menerangkan, perusahaan memiliki kemampuan keuangan yang berbeda-beda. Dengan kenaikan UMK, dia mengatakan akan banyak perusahaan yang kesusahan untuk menjalankan bisnisnya.
"Daya tahannya ada yang berdaya tahan tinggi, ada yang daya tahan sedang. Otomatis yang kuat atau pindah mungkin dengan membuka bisnis baru," ujarnya.
Padahal, Sukoco menjelaskan, industri di Kota Bogor mampu menyerap banyak tenaga kerja. Namun, menurutnya, Pemerintah Kota Bogor seolah tak memberi dukungan bagi para pengusaha.
Ia menilai, Pemkot Bogor hanya memprioritaskan bisnis yang menguntungkan bagi Kota Bogor, yakni bisnis yang memberikan kontribusi besar pada Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kota Bogor Budi Mudrika menjelaskan, rencana kenaikan upah sebesar Rp 4.169.806 dinilai standar. Menurutnya, kenaikan bisa disebut ideal asalkan harga bahan pokok juga tidak mengalami kenaikan.
"Kalau bagi kami relatif. Selama kenaikan itu tidak diikuti kenaikan yang lain, itu dianggap ideal," katanya.
Terkait banyaknya perusahaan yang akan gulung tikar maupun berpindah lokasi, Budi mengatakan, perusahaan juga masih memiliki cara untuk menyiasati. Sebab, perusahaan juga dapat penangguhan gaji jika tak mampu membayar gaji karyawan sesuai UMK.
"Kan ada penangguhan artinya jangan sampai upah minimum di kota/kabupaten dijadikan isu sebagai relokasi atau penurunan jumlah perusahaan," tuturnya.
Budi berharap pemerintah segera hadir untuk menyelesaikan penurunan jumlah perusahaan tersebut. Dia meminta, pemerintah juga dapat meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan yang tersebar di Kota Bogor dan di seluruh Indonesia.
"Fenomena apa yang terjadi di industri ini?Jawabannya ada di pemerintah. Kita buat SOP (Standar Operasional Prosedur) hanya formalitas, tanpa ada kontrol dan evaluasi," ujarnya.