Selasa 05 Nov 2019 02:03 WIB

Kerja Sama dengan Laos, Menkumham Minta WNI tak Dihukum Mati

Kedua negara berkomitmen untuk bekerja sama memberantas peredaran narkotika.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly (kiri) bersama Menteri Hukum dan Kehakiman Laos Saysy Santyvong usai penandatangan Memorandum of Cooperation (MoC) di bidang hukum, kawasan Kemenkumham, Jakarta Selatan, Senin (4/11).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly (kiri) bersama Menteri Hukum dan Kehakiman Laos Saysy Santyvong usai penandatangan Memorandum of Cooperation (MoC) di bidang hukum, kawasan Kemenkumham, Jakarta Selatan, Senin (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Kehakiman Laos di bidang hukum dalam penandatanganan Memorandum of Cooperation (MoC). Dalam kesempatan itu, Menkumham Yasonna Laoly mengatakan, kerja sama juga terkait penegakan hukum terkait narkotika di kedua negara.

Ia menuturkan, pembicaraan bilateral secara tertutup bersama Menteri Hukum dan Kehakiman Laos Saysy Santyvong membahas soal tiga warga negara Indonesia (WNI) yang tengah menjalani proses hukum di Laos. Ketiga WNI ditangkap atas kasus kejahatan narkoba pada 2017 dan 2018 yang terancam hukuman mati.

"Dalam rangka perlindungan kewarganegaraan kita tidak meminta apa, dibebaskan tidak. Harus dihukum. Tetapi kita minta jangan sampai hukuman mati," ujar Yasonna di gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, Jakarta Selatan, Senin (4/11).

Ia mengatakan, hal itu juga dalam rangka komitmen kedua negara memberantas narkotika. Kemudian di sisi lain muncul legacy system atau kerja sama di bidang hubungan timbal balik dalam tindak pidana termasuk kasus kejahatan narkotika itu sendiri.

Yasonna menjelaskan, apabila ada masalah antara dua negara karena sistem hukum yang berbeda dapat dimudahkan dengan perjanjian kerja sama tersebut. Menurutnya, kerja sama dalam bidang hukum ini sangat penting dan wajar dilakukan antarnegara.

"Dalam waktu dekat saya akan tanda tangan juga, negara Rusia sudah sepakat, draf sudah selesai. Jadi ini biasa saja tetapi penting untuk kerja sama hukum," kata dia.

Yasonna menyebut, kerja sama hukum antara Indonesia dan Laos merupakan yang pertama di ASEAN. Ia mengatakan, pemberantasan terorisme yang melibatkan Densus 88 kemudian dalam hal pemberantasan korupsi melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia lebih advanced.

Sementara, lanjut dia, Laos sangat baik dalam pemberantasan narkotika. Sehingga, Indonesia perlu meminta bantuan Laos untuk bertukar informasi dalam upaya memberantas kejahatan narkotika.

Untuk itu, Indonesia dan Laos juga menyelenggarakan joint capacity building and training yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pejabat termasuk otoritas pusat dan aparat penegak hukum. Termasuk ektradisi, pemindahan narapidana serta penanganan kasus arbitrase internasional.

Sebelumnya, Direktur Jenderal AHU Kemenkumham Cahyo R Muzhar mengatakan, Indonesia dan Laos memiliki persepsi yang sama dalam memperkuat supremasi hukum, sistem hukum, dan infrastruktur hukum. Sehingga tidak hanya kohesif secara politik, terintegrasi secara ekonomi, dan bertanggung jawab secara sosial.

Namun, hukum sebuah negara juga benar-benar berorientasi kepada kepentingan publik dan berbasis aturan menuju Cetak Biru Keamanan Politik ASEAN 2025. Menurut Cahyo, kerja sama ini sebagai upaya mencegah dan memerangi kejahatan lintas negara di kawasan ASEAN.

Sebab, dalam emerangi kejahatan lintas negara tidak bisa ditangani secara mandiri tanpa dukungan bersama yang meningkat dari semua negara anggota ASEAN. Di samping bahwa setiap negara di ASEAN memiliki sistem hukum yang berbeda

"Kerjasama ini harus mempertimbangkan fakta bahwa setiap negara di ASEAN memiliki sistem hukum yang berbeda," ujar Cahyo.

Ia menceritakan, beberapa waktu lalu negara-negara ASEAN juga sudah mencapai dua kerangka kerja sama hukum yang besar yaitu Model ASEAN Extradition Treaty (MAET) atau ektradisi model ASEAN dan ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT). Pencapaian ini dihasilkan dari konsensus negara-negara anggota ASEAN.

"Tujuan ini sejalan dengan komitmen yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Karena itu, negosiasi Perjanjian Ekstradisi ASEAN ke depan akan dilaksanakan di bawah naungan ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM)," kata dia.

Cahyo menjelaskan, model perjanjian tentang ekstradisi negara ASEAN akan menjadi instrumen penting bagi kerja sama internasional dalam masalah pidana. Struktur dan ketentuan perjanjian ekstradisi tersebut merupakan hasil dari penilaian yang cermat terhadap kebutuhan serta kesulitan negara dalam prosedur ekstradisi.

Pemerintah Indonesia menyetujui rancangan model perjanjian yang telah diusulkan oleh Singapura sebagai dasar untuk pembentukan perjanjian ekstradisi ASEAN yang mengikat secara hukum. “Kami berharap agar dapat menyelesaikan perjanjian Ekstradisi ASEAN secepatnya,” tutur Cahyo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement