Senin 04 Nov 2019 17:55 WIB

KPU Kembali Masukan Larangan Koruptor Maju Pilkada

KPU memasukkan alasan itu karena ingin mendapatkan calon kepala daerah yang terbaik.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Ratna Puspita
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali memasukan larangan mantan napi korupsi maju dalam pilkada. Hal itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, Bawaslu, dan Kemendagri.

"Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi," kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik dalam pemaparannya, Senin (4/11).

Baca Juga

Aturan tersebut tercantum dalam pasal 4 rancangan PKPU tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Selain itu, syarat lain seseorang boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah apabila jika yang bersangkutan berstatus narapidana, tetapi tidak menjalani pidana dalam penjara. Misalnya seperti terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis), terpidana karena alasan politik.

"Menyerahkan daftar kekayaan pribadi kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan harta kekayaan penyelenggara negara," kata Evi menambahkan syarat lain

Ketua KPU Arief Budiman mengaku masih menunggu respons anggota DPR terkait adanya aturan tersebut. Alasan KPU kokoh memasukan aturan tersebut lantaran KPU ingin mendapatkan calon kepala daerah yang terbaik.

"Maka harus kita cari betul-betul yang sangat baik, dalam tanda kutip dia harus sosok yang sempurna kira-kira seperti itu," jelasnya.

KPU menyadari bahwa sebelumnya aturan serupa pernah ditolak Mahkamah Agung (MA) saat ingin diterapkan dalam pilkada. Namun ia mengatakan KPU sudah mengantisipasi hal tersebut.

"Kami tentu berharap ada revisi terhadap undang undang (pilkada). Karena kan semua pihak kalau saya lihat komentarnya, sepanjang ini diatur di dalam undang undang maka kita bisa terima," ungkapnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement