REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI menyatakan tak mau ikut campur soal keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tak mau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk UU KPK yang masih menuai kontroversi. DPR menilai hal itu menjadi urusan Jokowi.
"Itu urusan presiden, kita tidak bisa campur. Nanti aja kita liat. Kalau UU sudah ada, kan Perppu ada syaratnya, syarat-syaratnya untuk keluarkan Perppu kan ada syaratnya," ujar Wakil Ketua DPR RI Koordinator Poltik dan Keamanan Aziz Syamsuddin di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (4/11).
Aziz menyatakan, pengeluaran Perppu harus sesuai dengan syarat yang telah diatur dalam undang-undang. Sejauh ini, Aziz mengklaim belum mendengar adanya kabar Perppu akan diterbitkan, atau bahkan dibatalkan.
Politikus Golkar itu juga berbicara soal Dewan Pengawas yang selama ini menjadi poin perdebatan dalam UU KPK. Ia mengatakan, Dewan Pengawas harus merupakan orang yang berpengalaman di bidang hukum.
"Bisa saja mantan KPK, bisa saja manan komisioner, tentu punya experience yang cukup di bidang hukum," ujar dia.
Ia mengatakan, siapa pun orang yang dipilih menjadi Dewan Pengawas mekanismenya telah diatur dalam UU. Dewan Pengawas diatur dalam UU, yakni melalui penunjukkan pemerintah.
"Sudah ada di UU, ditunjuk oleh pemerintah," ujar dia.
Keputusan Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK itu disampaikan saat berbicang dengan awak media di Istana Mereka, Jakarta, pada Jumat (1/11) lalu. Ia mengaku tak perlu mengeluarkan perppu karena UU KPK masih diuji di MK.
"Jangan ada orang yang masih berproses uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam bertatanegaraan. Kita harus hormati proses seperti itu," jelas Jokowi.
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menyebut, pernyataan Jokowi itu keliru dan menyesatkan karena presiden adalah cabang kekuasaan eksekutif. Artinya, posisi Jokowi tidak bersentuhan dengan MK sebagai cabang kekuasaan yudikatif.
"Kalau presiden bilang menunggu MK, itu keliru dan menyesatkan. Itu terlalu mengada-ada," kata Bivitri dalam dikusi bertajuk 'Presiden Tidak Menerbitkan Perppu, Komitmen Anti Korupsi Pemerintah Dipertanyakan' yang digelar di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Ahad (3/11).
Bivitri menjelaskan, presiden sebagai pemimpin eksekutif memiliki hak untuk mengeluarkan Perpu sebagai sebuah keputusan politik. Sedangkan kewenangan MK adalah menguji konstitusionalitas sebuah produk undang-undang (UU).
Bivitri pun mempertanyakan pernyataan presiden yang menyebut bahwa keputusan itu dilandasi kesopansantunan dalam ketatanegaraan dalam kaitannya dengan MK. "Saya yakin 100 persen, mengeluarkan perppu itu tidak akan membuat MK tersinggung. Mau jaga kesopanan apa?" kata Bivitri.
Penerbitan Perppu KPK sudah didesak berbagai kalangan selama satu bulan terakhir lantaran UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK sebagai hasil revisi atas UU Nomor 30 tahun 2002 dinilai sangat melemahkan lembaga antirasuah itu. Di antaranya dengan diletakkannya KPK di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, dibentuknya dewan pengawas dan dipangkasnya keweangan KPK dalam penangaan kasus.