Sabtu 02 Nov 2019 13:14 WIB

Pakar: Jokowi Bisa Pertimbangkan UU KPK Baru

Dewan Pengawas sejatinya tidak perlu diberikan kewenangan untuk izin penyadapan.

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Joko Widodo menyematkan bintang jabatan kepada Kapolri Jenderal Idham Aziz saat pelantikan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/10).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Presiden Joko Widodo menyematkan bintang jabatan kepada Kapolri Jenderal Idham Aziz saat pelantikan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Muzakir menilai, ada dua pilihan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menyelesaikan polemik Undang-undang (UU) Nomor 19/2019 tentang perubahan UU KPK.

Pertama, kata Muzakir, presiden bisa mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Kedua, presiden bisa juga mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) baru sebagai pengganti aturan yang kontroversial tersebut.

Baca Juga

“Lebih bagus diajukan RUU baru, terkait dengan perubahan terhadap UU KPK yang baru karena menurut saya di dalamnya ada beberapa bagian yang kurang tepat,” ujar Muzakir kepada Republika.co.id, Sabtu (2/11).

Muzakir menjelaskan di antara beberapa bagian yang kurang tepat dalam UU No.19/2019 tersebut adalah mengenai konteks badan pengawas. Ia menilai ini perlu diluruskan karena Dewan Pengawas seharusnya tidak boleh diberikan wewenang apapun kecuali melakukan pengawasan.

Untuk meluruskan kewenangan Dewan Pengawas yang diatur di dalam UU KPK tersebut, langkah untuk mengeluarkan Perppu dinilai tidak tepat. Alasannya, undang-undang ini adalah baru dan tidak ada situasi yang mendesak.

“Dalam UU KPK yang baru ini kan Dewan Pengawas diberi wewenang memberi izin penyadapan, padahal ini tidak perlu, harusnya cuma mengawasi prosedur apakah sudah sesuai aturan yang berlaku, jadi Dewan Pengawas mengontrol penggunaan wewenang itu,” jelas Muzakir.

Muzakir mengatakan, penerbitan UU baru pernah terjadi seperti dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah dengan UU No. 20/2001.

Ia mengingatkan bahwa sebaiknya ini dipertimbangkan dengan baik, agar nantinya dapat menciptakan aturan yang paling sesuai secara sistem hukum untuk KPK. Lembaga antirasuah itu bisa menggunakan wewenang khusus yang tidak bisa digunakan lembaga lain, seperti kepolisian dan kejaksaan.

“Posisi KPK saat ini cukup berbea dibandingkan pertama kali didirikan. Sekarang, KPK lebih banyak menggunakan wewenang untuk penyelidikan dan penyidikan, yang artinya sama saja dengan kepolisian dan kejaksaan,” kata Muzakir.

Muzakir mengatakan, KPK menjadi tidak memiliki wibawa, seperti tujuan awal dibentuknya lembaga ini sebagai badan luar biasa (superbody).

Ia mengusulkan dilakukan reformasi terhadap UU KPK yang mengatur secara jelas wewenang lembaga ini secara keseluruhan, karena penindakan dilakukan juga secara luar biasa.

“Saya usul  reformasi sekalian. KPK yang dibutuhkan itu keberanian dan profesionalitas. Kewenangan lembaga ini harus diatur misalnya nilai kerugian negara dalam kasus korupsi adalah lebih dari  Rp 3 miliar, sementara kepolisian dan kejaksaan di bawah itu,” jelas Muzakir.

Muzakir mengatakan besaran nilai kerugian dalam kasus korupsi ditentukan dari nilai rata-rata tindak pidana korupsi yang didapatkan. Dengan demikian, jika ternyata diketahui kasus yang ditangani polisi memiliki nilai kerugian negara mencapai Rp 3 miliar, maka harus diserahkan kepada KPK.

“Jadi ini membuat KPK dikembalikan ke marwah aslinya, sebagai superbody. Selebihnya untuk penanganan yang dilakukan polisi dan kejaksaan, badan ini memiliki supervisi kontrol saja, misalnya dalam proses pengadilan apakah sudah dilakukan dengan tepat,” kata Muzakir.

Presiden Jokowi mengatakan tidak akan mengeluarkan Perppu terkait UU KPK yang telah memicu kritik secara luas karena pasal-pasal di dalamnya yang dianggap dapat melemahkan wewenang dari lembaga tersebut.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia (Kemenkumham) juga resmi mencatat revisi UU KPK ke Lembaran Negara sebagai UU No. 19/2019.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement