Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai, rencana Menag melarang pemakaian cadar tidak bertentangan dengan Islam dan tidak melanggar HAM.
Ia mengatakan, ada dua hal yang harus dilihat secara saksama. Pertama, kata dia, adalah terkait kode etik kepegawaian. Ia mengatakan, kode etik kepegawaian sepatutnya harus dipatuhi oleh seluruh pegawai.
"Kalau dia pegawai, siapa pun dia harus mematuhi kode etik pegawai. Bahkan, dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi," katanya.
Kepatuhan tersebut, kata dia, tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tetapi juga pegawai yang berpakaian tidak sopan dan tak sesuai dengan norma agama, susila, serta budaya bangsa Indonesia.
Berikutnya, ia mengatakan, dalam ajaran Islam terdapat kewajiban untuk menutup aurat, baik bagi laki-laki dan perempuan. Namun, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai cadar sebagai salah satu busana untuk menutup aurat. Sebagian besar ulama, kata dia, berpendapat bercadar tidak wajib dan perempuan boleh menampakkan wajah dan telapak tangan.
PP Muhammadiyah juga berpendapat bahwa Islam tidak mewajibkan perempuan untuk memakai cadar. "Yang perlu diluruskan adalah pemahaman yang menganggap mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan," ujarnya.
Oleh karena itu, ia menegaskan kembali bahwa rencana kebijakan Menteri Agama untuk melarang perempuan bercadar tidak bertentangan dengan Islam. "Kebijakan tersebut harus dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai dan membangun relasi sosial yang lebih baik," kata Abdul Mu'ti.
(nashih nashrullah/antara ed: satria kartika yudha)