Sabtu 02 Nov 2019 03:00 WIB

Relokasi Harimau Bukan Jadi Solusi Konflik dengan Manusia

Di Riau, konflik harimau dan manusia menyebabkan tiga orang meninggal.

Tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar bersama warga  Jorong Kampung Padang Nagari Aia Manggih Barat kecamatan Lubuk Sikaping, Pasaman tengah mendeteksi jejak Harimau Sumatera yang memangsa ternak warga, Senin (22/7)
Foto: dok. BKSDA Sumbar
Tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar bersama warga Jorong Kampung Padang Nagari Aia Manggih Barat kecamatan Lubuk Sikaping, Pasaman tengah mendeteksi jejak Harimau Sumatera yang memangsa ternak warga, Senin (22/7)

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Aktivis lingkungan dan perlindungan satwa WWF menyatakan relokasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) tidak bisa jadi solusi untuk mengatasi konflik harimau dengan manusia di Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Humas WWF Program Riau Syamsidar menyatakan bahwa mempertahankan satwa dihabitat aslinya adalah pilihan yang terbaik karena belum ada kepastian apakah satwa yang direlokasi mampu beradaptasi dengan habitat barunya.

Ditambah lagi ancaman serupa juga sama, yakni deforestasi, degradasi kawasan, kebakaran hutan, dan perburuan, juga terjadi di hampir semua kawasan. "Sehingga relokasi (harimau) mungkin bisa menjadi pemicu konflik di tempat baru, jika tidak ada monitoring dan penanganan yang intensif," kata Syamsidar.

Baca Juga

Ia mengatakan hal tersebut menanggapi konflik manusia dengan harimau sumatera liar yang sudah menelan tiga korban jiwa pada tahun ini di Kecamatan Pelangiran Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Akibatnya, muncul keresahan dari warga Desa Tanjung Simpang di daerah tersebut yang menyurati kepala daerah setempat agar ada kebijakan merelokasi satwa dilindungi tersebut.

Menurut Syamsidar, hasil monitoring WWF menunjukkan 75 persen keberadaan satwa harimau dan gajah sebagai mamalia, berjelajah luas berada di luar kawasan konservasi. Kawasan itu sudah berubah fungsinya dari habitat asli ke bentuk penggunaan lain, sementara keberadaan mereka tetap ada di sana.

Tentu saja tumpang tindih penggunaan ruang yang sama dengan aktivitas manusia akan menimbulkan konflik.

"Untuk kondisi seperti ini, konflik mungkin tidak bisa dihilangkan sama sekali. Tetapi yang dapat dilakukan adalah pencegahan terjadinya konflik dengan penerapan praktik-praktif pengelolaan yang baik di konsesi-konsesi tersebut," ujarnya.

Ia menyatakan Riau memerlukan sebuah satuan tugas khusus untuk penanganan konflik satwa liar dengan manusia. Menurut dia, pada tahun 2007 pernah dibentuk sebuah satgas melalui Surat Keputusan Gubernur Riau, yang berisikan berbagai lembaga dan organisasi terkait.

"Bisa jadi itu diaktifkan kembali ataupun yang baru tapi tentu harus diikuti perangkat-perangkat pendukung untuk pelaksanaan program kerjanya, salah satunya pendanaan untuk langkah-langkah pencegahan konflik atau pun penanganannya. Selama ini, jika konflik terjadi, pendanaan untuk penanganannya sebagian besar dari sumber-sumber adhoc," kata Syamsidar.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement