REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan Kementerian Ketenagakerjaan dan buruh pengunjuk rasa di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Jakarta, Kamis (31/10), yang meminta kenaikan UMP tidak menggunakan PP No.78/2015 tak menghasilkan kesepakatan apa pun. Pasalnya pada pertemuan yang terjadi sekitar pukul 13.30 WIB tersebut, pihak buruh telanjur emosi karena menunggu Direktur Pengupahan Kemnaker Dinar Titus Jogaswitani.
Akhirnya perwakilan buruh tidak mau mendengarkan penjelasan dari pihak Kemenaker. "Kami merasa dilecehkan dengan Ibu datang terlambat, jadi kami mohon pamit," kata salah satu perwakilan buruh Edi Guntoro usai menyampaikan aspirasinya.
Buruh meminta PP 78/2015 tentang Pengupahan dibatalkan dan menolak revisi UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Bagi buruh, PP No.78/2015 telah membuat kenaikan upah minimum yang berdasarkan inflasi 3,39 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,12 persen tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Mereka menilai harusnya kenaikan UMP seharusnya sebesar 15 persen. Buruh mengklaim angka itu didapat dari survei ke lapangan berdasarkan 78 item kebutuhan hidup layak.
Di kesempatan itu buruh juga menyampaikan kekecewaannya karena tak bisa bertemu langsung dengan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Mereka juga menyampaikan kepada pihak Kemenaker agar menolak investasi selama investasi itu memberikan upah kecil bagi buruh.
Direktur Pengupahan Kemnaker Dinar Titus Jogaswitani saat dikonfirmasi mengatakan sudah menunggu para buruh. Namun mereka tak kunjung datang dan akhirnya dia melakukan aktivitas lain seperti shalat sembari menunggu para buruh.
Dia mengatakan pertemuan itu harusnya menjadi ajang dialog untuk menyampaikan aspirasi buruh. Buruh tapi tak mau mendengarkan pihak Kemenaker.
Mengenai PP No.78/2015, Dinar mengatakan Kemenaker sudah menerima perintah dari Presiden Joko Widodo untuk segera merevisinya. Saat ini pihaknya sedang mengumpulkan suara-suara dari berbagai pihak untuk revisi peraturan tersebut.
Terkait revisi UU Ketenagakerjaan, menurut dia, tidak ada yang perlu ditolak karena hingga saat ini Kementerian Ketenagakerjaan bahkan belum punya draft untuk revisi UU tersebut.