Kamis 31 Oct 2019 13:41 WIB

Catatan untuk Bu Menteri Soal Pengelolaan Hutan

Siti Nurbaya kembali dipercaya menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Satgas Karhutla dari TNI, Polri bersama relawan pemadam kebakaran berupaya memadamkan kebakaran lahan yang menjalar ke tumpukkan ban bekas di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (22/10/2019).
Foto: Antara/Bayu Pratama
Relawan pemadam kebakaran berupaya memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Desa Handil Usang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Senin (30/9/2019).

Kebakaran yang terus berulang setiap tahun menunjukan pemerintah tidak tegas terhadap pelaku kabakaran hutan, baik individu ataupun perusahaan. Menurut data KLHK ada 9.905 perusahaan pemegang izin usaha kehutanan dan perkebunan. Namun, hanya 22 persen pemegang izin usaha kehutanan dan perkebunan yang memenuhi kewajiban memberikan laporan pengendalian Karhutla.

Kewajiban perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan dan perkebunan untuk menyediakan sarana dan prasarana (sarpras) pencegahan kebakaran hutan, serta memfasilitasi kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) banyak yang tidak dilaksanakan. Mandat UUD Pasal 33 akan kuasa negara atas hutan sangatlah jelas, oleh karenanya ketegasan pemerintah kita nantikan, termasuk memberi efek jera dengan mencabut izin perusahaan pada perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan. DPR bersama pemerintah telah meratifikasi Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution, sehingga persoalan asap dan kebakaran hutan ini telah menjadi tanggung jawab kita sebagai masyarakat dunia.

photo
Satgas Karhutla dari TNI, Polri bersama relawan pemadam kebakaran berupaya memadamkan kebakaran lahan yang menjalar ke tumpukkan ban bekas di Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (22/10/2019).

Hal berikutnya yang menjadi catatan kritis kami adalah lambatnya realisasi perhutanan sosial. Perhutanan sosial merupakan suatu sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara.

Sebagaimana kita ketahui, program ini dilakukan melalui lima skema, yakni Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. Target yang telah ditetapkan adalah 12,7 juta hektar untuk masyarakat, tapi mengapa baru 2.5 juta hektar yang terealisasi?

Program ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di samping untuk menjaga keseimbangan lingkungan dengan dinamika sosial budayanya, dan juga mengakhiri konflik hutan dan lahan. Sehingga perlu ada terobosan skema percepatan perhutanan sosial, agar target secara kuantitatif maupun kualitatif dapat terwujud.

photo
Suasana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan Kawah Putih, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Selasa (8/10).

Paling tidak 3 persoalan besar tersebut diatas yang harus segera diselesaikan oleh ibu Menteri. Sejatinya masih banyak PR yang harus kita selesaikan bersama. Karena itu, DPR telah meningkatkan anggaran bagi KLHK menjadi 9,3 Triliun untuk tahun 2020.

Tentu anggaran tersebut tidak akan cukup untuk mengelola dan melindungi hutan kita yang luasnya lebih dari 120 juta hektar, apabila paradigma pengelolaannya protective sehingga hutan bersifat cost center. Paradigma pengelolan hutan harus kolaboratif, dengan melibatkan banyak pihak, baik aparat, swasta, akademisi, dan tentunya masyarakat adat. Begitupun juga, hutan kita punya potensi pariwisata yang sangat tinggi serta potensi jasa lingkungan seperti air dan jasa karbon yang amat tinggi.

Semoga Ibu Menteri berani menghadirkan paradigma baru pengelolaan hutan. DPR akan senantiasa menjadi mitra strategis bagi pemerintah untuk menjaga hutan Indonesia agar dapat dinikmati oleh generasi hari ini, tanpa menghilangkan kesempatan generasi berikutnya untuk menikmatinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement