REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan Demokrasi untuk Pemilu (Perludem) Titi Anggraini tak heran atas meningkatnya minat peserta pemilihan kepala desa (pilkades) karena posisi strategis yang mengelola dana desa dalam jumlah besar. Untuk itu, ia mengimbau, penegakan hukum harus diperkuat karena ada kemungkinan praktik politik uang semakin masif.
"Penegakan hukumnya yang justru harus diperkuat, terutama bila terjadi dugaan praktik politik uang yang ditengarai makin masif di pilkades," ujar Titi kepada Republika, Rabu (30/10). Ia mengatakan, setiap desa kini mempunyai peluang untuk melakukan lebih banyak hal terkait pembangunan desa. Sebab, kepala desa memiliki posisi strategis mengelola dana desa dalam jumlah yang sangat besar.
Kemudian, kata Titi, posisi kepala desa dijadikan batu lompatan untuk karier politik yang lebih kuat di masa mendatang. Misalnya saja, dari kepala desa menjadi calon anggota DPRD kabupaten/kota ataupun jabatan publik lainnya. "Maka tidak heran jika kemudian ini menjadi pemikat bagi banyak orang untuk mencoba menjadi calon kepala desa melalui pilkades," tutur Titi.
Untuk itu, ia menyarankan penyelenggaraan pilkades dilakukan serentak dan diselenggarakan KPU seperti pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal itu untuk memastikan penyelenggaraan pilkades berjalan sesuai aturan.
"Baiknya pilkades dilakukan serentak dan diselenggarakan KPU, seperti halnya pilkada," kata dia.
Pilkades diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 65 Tahun 2017 tentang perubahan atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pilkades. Dalam Pasal 5 berbunyi, bupati atau wali kota membentuk panitia pemilihan di kabupaten/kota yang ditetapkan dengan keputusan bupati atau wali kota.
Panitia pemilihan itulah yang kemudian bertugas merencanakan, mengoordinasikan, dan menyelenggarakan semua tahapan pelaksanaan pilkades di tingkat kabupaten/kota. Tugas panitia pemilihan dapat ditugaskan kepada desa yang diatur dengan peraturan bupati atau wali kota.
Mantan menteri desa pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi Eko Putro Sandjojo juga menyatakan, dana desa yang diberikan ke berbagai daerah harus ada pengawasan dan pengamanan sehingga dana tersebut tidak disalahgunakan oleh kepala desa.
"Maraknya peserta pilkades ini wajar ya. Memang rata-rata gajinya kepala desa Rp 4 juta, tapi ada juga yang masih sekitar Rp 2 juta, tergantung desanya. Yang harus dilakukan, selalu antisipasi bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan pengawasan," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (30/10).
Eko melanjutkan, adanya dana desa dapat membangun dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan, seperti dijadikan tempat wisata alam dan usaha lainnya. Tetapi, pengawasan harus ada untuk menghindari penyalahgunaan dana desa atau korupsi.
Lalu, Eko menambahkan, jika sistem pengawasan dana desa tidak dibentuk dari sekarang, nantinya dana tersebut akan sia-sia. Bukannya menyejahterakan masyarakat, justru merugikan masyarakat.
Bupati harus berkoordinasi terus dengan kepala desa agar menciptakan desa yang berkembang dalam segi ekonomi maupun sosial. "Banyak juga yang mencalonkan menjadi kepala desa masih satu keluarga. Kayaknya itu fenomena tidak di daerah saja di perkotaan juga ada. Maka dari itu, harus ada sistem pengawasan dari KPK dan kejaksaan. Ini penting sekali," ujar dia.
Eko berharap ke depannya dana desa yang diberikan di setiap daerah harus dievaluasi agar dananya tepat sasaran. Dana desa berfungsi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Kalau tujuh tahun ke depan tetap dipertahankan dan memiliki sistem pengawasan terhadap semua daerah pasti angka kemiskinan dan pengangguran berkurang. "Ya, tugas menteri yang sekarang. Yang penting ada pengawasan untuk dana tersebut benar-benar untuk kemajuan desa dan pemerintah pusat dan daerah harus sering koordinasi," kata Eko.
Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya mencatat, menilai berdasarkan kajian Tren Penindakan Kasus Korupsi 2018, dana desa rawan dikorupsi. Berdasarkan hasil pemantauan ICW sejak 2015 hingga semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 Miliar.
"Sebanyak 181 kasus terdiri dari 17 kasus pada 2015, 2016 meningkat menjadi 41 kasus dan 2017 korupsi melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus. Sementara pada semester I tahun 2018, terdapat 27 kasus di desa yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi," kata peneliti ICW Egi Primayogha.
Dari segi pelaku, papar Egi, kepala desa menjadi aktor korupsi terbanyak di desa. Pada 2015, 15 kepala desa menjadi tersangka. Pada 2016, jumlahnya meningkat menjadi 32 kepala desa. Pada 2017, jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 65 orang yang tersangkut kasus korupsi. Pada semester I 2018, sebanyak 29 orang kepala desa menjadi tersangka.