REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pemekaran Papua bergulir cepat setelah kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke wilayah tersebut pekan ini. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan, setidaknya satu dari dua provinsi baru di Papua sudah pada tahap finalisasi.
"Pemerintah pusat kemungkinan mengakomodasi hanya penambahan dua provinsi. Ini yang lagi kita jajaki. Yang jelas Papua Selatan sudah okelah," ujar Tito di kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (29/10). Mendagri menyatakan, telah bertemu Bupati Merauke Frederikus Gebze guna membahas pemekaran itu.
Papua Selatan akan mengambil sebagian daerah Provinsi Papua, yaitu Kabupaten Mappi, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Merauke. Untuk memenuhi syarat minimal lima kabupaten/kota untuk menunjang provinsi baru, menurut Tito, Merauke akan dipecah menjadi Kota Merauke dan Kabupaten Merauke.
"Papua Selatan hampir tidak ada masalah, termasuk Gubernur Pak Lukas Enembe tidak ada masalah," kata Tito. Ia juga menyatakan, rencana pemekaran dua provinsi baru di Papua tak terhambat kebijakan moratorium daerah otonomi baru (DOB) yang diterapkan sejak 2014. Soal provinsi baru lainnya di Pergunungan Tengah Papua, kata dia, masih menunggu kesepakatan pihak terkait.
Provinsi Papua Tengah diwacanakan akan meliputi juga wilayah di utara Papua yang meliputi wilayah kepulauan, seperti Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Serui, dan pesisir Nabire. Kepala-kepala daerah di wilayah itu belakangan sedang memperjuangkan provinsi sendiri.
"Yang tengah dan atas ini yang masih tarik-menarik apakah aspirasinya dari Papua Tengah ini mau enggak," ujar Tito. Ia menekankan, tak perlu menggunakan kekerasan dalam memperjuangkan aspirasi tersebut.
Rencana pemekaran yang disampaikan Mendagri akan menegaskan batas wilayah adat di Papua (lihat infografis). Provinsi Papua Selatan meliputi wilayah yang dinamai Ha Anim. Sementara, Papua Tengah mengiris wilayah Mee Pago, La pago, dan Saireri. Wilayah lainnya adalah Mamberamo Tami/Tabi di Jayapura dan sekitarnya, serta Domberai dan Bomberai yang keduanya di Papua Barat.
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Herman Asaribab (kiri) mengamati bangunan yang terbakar saat kerusuhan lalu di Pasar Wouma, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10/2019).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah mengiyakan permintaan sejumlah pihak terkait pembentukan provinsi di Pergunungan Tengah Papua. Hal ini disampaikan Jokowi menjawab usulan dari tokoh masyarakat adat di Wamena, Jayawijaya, pada Senin (28/10). "Tapi (ini) khusus untuk Pergunungan Tengah. Jangan tepuk tangan dulu, akan saya tindak lanjuti," kata Jokowi.
Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengkhawatirkan wacana pembentukan dua provinsi baru akan memicu konflik horizontal di Papua. MRP sebagai (lembaga) aspirasi kultural sangat menyesal kalau ini (wacana pemekaran) dipaksakan.
"Karena, hanya akan memakan korban rakyat Papua sendiri. Rakyat Papua yang akan menjadi tumbal. MRP akan menolak. Saat ini, kami dalam posisi menolak," ujar Timo saat dihubungi Republika, Selasa (29/10).
Timo menerangkan, MRP memiliki kewenangan terkait pemekaran mengacu pada UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dalam beleid tersebut, kata Timo, pemekaran harus berawal dari ajuan eksekutif di tingkat provinsi dan kabupaten yang disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Setelah eksekutif dan DPRP melakukan pembahasan, persetujuan terakhir ada di MRP. Persetujuan MRP harus memperhatikan aspek kesatuan sosial adat dan budaya suku dan masyarakat serta kesiapan sumber daya manusia juga kemampuan perekonomian wilayah baru yang akan dibentuk.
Persetujuan dari MRP kemudian menjadi rekomendasi utama bagi pusat untuk melakukan pemekaran. Sampai saat ini rekomendasi dari kami (MRP) tidak pernah ada. "Saya pikir pemerintah pusat harus menangguhkan (wacana pemekaran) itu," kata Timo.
Ia juga menolak jika pemekaran dijadikan solusi masalah keamanan di Papua. Timo menerangkan, persoalan utama di Papua baru-baru ini tak lain adalah reaksi puncak dari ketidakadilan yang dirasakan oleh warga asli Papua sejak lama.
"Jadi, masalah akar rakyat Papua itu harus diselesaikan dengan cara peningkatan kualitas manusianya supaya mereka bisa kenyang, bisa sehat, bisa pintar. Itu dulu selesaikan. Baru kita pikirkan pemekaran," ujar Timo. (mimi kartika/bambang noroyono, ed:fitriyan zamzami)