Ahad 27 Oct 2019 05:03 WIB

Irak Berdarah Lagi, Demontrasi Terus Telan Korban

Demonstrasi Irak kembali pecah dan setidaknya terdapat 40 pengunjuk rasa meninggal

Pengunjuk rasa melakukan pembakaran dan memblokir jalan selama demonstrasi di Baghdad, Irak, Ahad (6/10). Lebih dari 100 orang meninggal dalam protes tersebut.
Foto:

Pertumpahan darah kali ini adalah pertarungan besar kedua dalam kekerasan selama bulan ini. Serangkaian bentrokan dua pekan lalu antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan menewaskan 157 orang dan lebih dari 6.000 lainnya terluka.

Kerusuhan telah menghancurkan hampir dua tahun stabilitas di Irak, yang hidup melalui pendudukan asing, perang saudara, dan pemberontakan ISIS antara 2003 hingga 2017. Demonstrasi besar ini pun menjadi tantangan paling kuat bagi keamanan negara sejak ISIS dapat dipukul mundur.

Demonstrasi yang terkadang disertai kekerasan meletus di Baghdad pada 1 Oktober dan menyebar ke kota-kota selatan. Aksi ini menimbulkan tantangan terbesar bagi Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi sejak menjabat setahun yang lalu. Meskipun menjanjikan reformasi dan memerintahkan perombakan kabinet secara luas, dia masih berjuang untuk mengatasi ketidakpuasan para pemrotes.

"Yang kami inginkan adalah empat hal, pekerjaan, air, listrik, dan keselamatan. Hanya itu yang kami inginkan," kata demonstran Ali Mohammed yang berusia 16 tahun di pusat kota Baghdad Tahrir Square.

Terlepas dari kekayaan minyak dan menjadi anggota OPEC, banyak warga Irak hidup dalam kemiskinan, keterbatasan akses terhadap air bersih, listrik, layanan kesehatan dasar atau pendidikan yang layak. Banyak pula masyarakat Irak yang percaya elite di pemerintahan tunduk pada satu atau dua sekutu utama, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Iran.

"Mereka memukul kami tadi malam dan lagi pagi ini. Kami tidak memiliki tuntutan lagi. Kami ingin pemerintah digulingkan," kata demonstran Salah Mohammad.

Salah menyatakan, masyarakat Irak ingin kedua sekutu pergi dari tanah mereka. Warga memiliki hak untuk memutuskan jalan yang ingin dipilih sendiri, tanpa ada campur tangan dari dua negara tersebut.

Dalam pidato Kamis malam, Abdul Mahdi telah menekankan kekerasan tidak akan ditoleransi. Dia memperingatkan keruntuhan pemerintah akan menyeret Irak dalam kekacauan lebih lanjut.

(reuters/ed: setyanavidita livikacansera)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement