Sabtu 26 Oct 2019 00:02 WIB

KNKT Rilis Penyebab Jatuhnya JT 610, Ini Respons Lion Air

Ada sembilan penyebab JT 610 jatuh menurut hasil investigasi Lion Air.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Andri Saubani
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono (kanan) didampingi Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Nurcahyo Utomo (kiri) memberikan keterangan pers hasil investigasi kecelakaan Lion Air JT 610 di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono (kanan) didampingi Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Nurcahyo Utomo (kiri) memberikan keterangan pers hasil investigasi kecelakaan Lion Air JT 610 di Jakarta, Jumat (25/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Keselematan Transportasi (KNKT) sudah menyelesaikan hasil investigasi final terkait kecelakaan pesawat Lion Air nomor registrasi PK-LQP yang jatuh pada penerbangan JT 610 dari Jakarta ke Pangkalpinang pada 29 Oktober 2018. Corporate Communications Strategic of Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro berterimakasih atas kerja keras KNKT dalam menyelidiki kecelakaan tersebut.

Danang menilai sangat penting untuk menentukan akar penyebab dan faktor-faktor penyebab kecelakaan tersebut. "Mengambil tindakan korektif segera untuk memastikan bahwa kecelakaan seperti ini tidak pernah terjadi lagi," kata Danang, Jumat (25/10).

Baca Juga

Sebelumnya, KNKT membeberkan sembilan faktor penyebab kecelakaan  pesawat tersebut. Ketua Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan sembilan faktor tersebut berkontribusi dalam kecelakaan yang menewaskan 189 korban jiwa itu.

"Kalau ini (sembilan faktor penyebab) terhindar, kecelakaan mungkin tidak terjadi," kata Nurcahyo dalam konferensi pers di Gedung KNKT, Jakata (25/10).

Dari sembilan faktor tersebut, beberapa diantaranya yakni asumsi terkait rekasi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeng 737 Max 8. Nurcahyo menjelaskan ada beberapa yang menjadi acuan yakni terkait asumsi yang dibuat atas reaksi pilot, kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit, dan sensor tunggal yang diadalkan untuk Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.

Nurcahyo mengatakan, faktor penyebab ketiga yaitu desain MCAS yang ada di dalam pesawat Boeing 737 Max 8 hanya mengandalkan satu sensor saja. "Ini sebenarnya rentan terhadap kesalahan dalam pesawat Boeing 737 Max 8," tutur Nurcahyo.

Presiden dan CEO Boeing Dennis Muilenburg juga mengatakan dalam beberapa bulan terakhir sudah menerapkan perubahan perubahan terhadap pesawat 737 MAX. "Yang paling signifikan, Boeing telah mendesain kembali cara sensor sudut serang atau angle of attack (AOA) bekerja dengan fitur perangkat lunak kontrol kemudi terbang yang dikenal dengan Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS)," kata Dennis dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (25/10).

Dia memastikan, untuk selanjutnya MCAS di pesawat Boeing 737 Max 8 akan membandingkan informasi dari sensor-sensor AoA sebelum teraktivasi. Dengan begitu, Dennis mengataka terdapat lapisan perlindungan baru yang ditambahkan.

Selain itu, Dennis menegaskan MCAS hanya akan menyala jika terdapat kesamaan antara kedua sensor AoA. "Hanya akan teraktivasi sekali untuk menanggapi informasi AOA yang keliru dan akan selalu tunduk pada batasan maksimum yang dapat dibatalkan oleh kolom kemudi," jelas Dennis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement