REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) membagikan 12 posisi wakil menteri untuk membantu kinerja kabinet yang dibangunnya di periode kedua pemerintahannya. Namun, postur wakil menteri yang dibagikan Jokowi itu dinilai terlalu kental dengan politik akomodatif.
Ketua Pusat Penelitian Poltik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai, pembagian itu sebagai upaya mengakomodasi pihak-pihak pro-Jokowi yang belum mendapat jatah menteri. Tujuh dari 12 wakil menteri ini merupakan politikus, sekaligus relawan Jokowi.
"Nuansanya ini kan lebih ke politik akomodatif ya, dari 12 (wamen) itu, tujuh bernuansa politis banget, lima yang betul-betul sesuai, tapi tujuh dari politikus dan pendukung Pak Jokowi," kata Firman Noor, Jumat (25/10).
Tujuan pembentukan wakil menteri adalah untuk memperkuat pemerintahan, khususnya untuk pos-pos kementerian yang dinilai berat. Firman Noor menyayangkan, sebagian wakil menteri yang yang ditunjuk Jokowi bahkan belum memiliki jam terbang tinggi.
"Kebanyakan mereka sukses dalam lingkungan yang terbatas dan pada pekerjaan yang terbatas. Sementara departemen yang mereka bantu adalah departemen besar dengan portofolio yang besar dan juga anggaran yang sangat besar," ujar Firman.
Firman pun berpandangan, harusnya Jokowi bisa lebih selektif dalam memilih bila memang menginginkan penguatan kabinet yang dibentuknya, bukan justru terlihat mengakomodasi pihak-pihak yang belum mendapat jatah. Terlebih lagi, Jokowi memiliki pekerjaan rumah berat untuk mengefektifkan pemerintahan di periode kedua.
"Kontradiksinya di situ harusnya orang-orang yang berorientasi program ya, agar lebih efektif pemerintahan," ujar dia.
Peneliti Senior P2P LIPI Syamsuddin Haris menilai, menggemukkan kabinet dengan 12 wakil menteri bukan opsi yang tepat. Menurut profesor ilmu politik itu, kuantitas wakil menteri tak selalu berbanding lurus dengan hasil kinerja.
"Belum tentu menjanjikan efektivitas, apalagi kontradiktif dengan upaya pemangkasan eselon di birokrasi. Jadi ini tidak konsisten," ujar Syamsuddin Haris pada Republika, Jumat.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, sebagai salah satu partai koalisi pemerintah, tak membantah kentalnya nuansa bagi-bagi kursi di posisi wakil menteri itu. "Kalau melihatnya dari sisi itu, itu melihatnya dari sisi yang negatif ya," kata Jazilul saat ditemui di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Jumat.
Jazilul memberikan pembelaan bahwa wakil menteri diadakan untuk mempercepat pelayanan penangananan masalah di setiap kementerian. Ia mengakui adanya unsur profesional dan politik. Namun, ia menegaskan, Wakil Menteri adalah jabatan politik.
"Jabatan poltik itu tidak mengenal unsurnya dari mana. Tidak ada unsur karena itu proporsi politik kok. menteri, wakil menteri itu politik. dan para menteri yang kemarin itu dilantik itu menduduki jabatan politik," ujar dia.
"Tidak usah ditanya sumbernya dari mana yang penting bisa mengerjakan dan mengatasi, menangani masalah yang ada di kementeriannya," ujar Wakil Ketua MPR RI itu menambahkan.
Adapun nama-nama calon wakil menteri yang dipilih Jokowi dari kalangan parpol dan pendukungnya yakni Wakil Menteri Pertahanan: Wahyu Sakti Trenggono (Bendahara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf), dan Wakil Menteri Agama: Zainut Tauhid (Politikus senior PPP/Waketum MUI).
Selanjutnya, adapula Wakil Menteri PUPR: John Wempi Wetipo (Politikus PDIP), Wakil Menteri Perdagangan: Jerry Sambuaga (Politikus Golkar), Wakil Menteri Desa PDTT: Budi Arie Setiadi (Ketum Projo) dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang: Surya Tjandra (Politikus PSI) dan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Angela Tanoesoedibjo (Pengusaha/Perindo).
Sementara, lima orang yang bukan dari kalangan politikus yakni, Wakil Menteri Luar Negeri: Mahendra Siregar (Dubes RI untuk AS), Wakil Menteri Keuangan: Suahasil Nazara (Kepala Badan Kebijakan Fiskal), Wakil Menteri LHK: Alue Dohong (Deputi Badan Restorasi Gambut), Wakil Menteri BUMN: Budi Sadikin (Direktur Utama Mining Industry Indonesia) dan Wakil Menteri BUMN: Kartika Wirjoatmojo (Direktur Utama Bank Mandiri).