Kamis 24 Oct 2019 16:29 WIB

Wisata Ramah Lingkungan, Desa di Bali Manfaatkan Biogas

Ini merupakan upaya mendorong pertanian sehat dan desa wisata ramah lingkungan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Gita Amanda
Koordinator BUMDES Desa Bongkasa Pertiwi, Bali, tengah mengolah limbah kotoran sapi dan babi untuk dijadikan biogas.
Foto: Republika/Idealisa Masyrafina
Koordinator BUMDES Desa Bongkasa Pertiwi, Bali, tengah mengolah limbah kotoran sapi dan babi untuk dijadikan biogas.

REPUBLIKA.CO.ID, BONGKASA -- Sektor pariwisata Bali kini tidak hanya menawarkan aktivitas leisure, tapi juga pengembangan ekonomi berbasis desa melalui wisata alam yang ramah lingkungan. Di Desa Bongkasa Pertiwi, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, telah dikembangkan pemanfaatan biogas untuk aktivitas sehari- hari.

Biogas merupakan gas yang berasal dari hasil fermentasi bahan-bahan organik. Di desa ini biogas digunakan dari kotoran hewan yakni babi dan sapi.

Baca Juga

Sudah banyak diketahui bahwa masyarakat Bali mengkonsumsi babi, dan banyak di pedesaan peternakan babi. Dengan demikian, upaya menghasilkan biogas di Desa Bongkasa merupakan hal yang cukup mudah. Terdapat 41 unit biogas di desa tersebut yang dibuat atas kerjasama antara pihak swasta seperti Danone Indonesia, Yayasan Rumah Energi dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Mandalasari.

Menurut Koordinator Program Biogas BUMDES Mandalasari, Wayan Suweja, program ini merupakan upaya desa mendorong pertanian sehat serta desa wisata unggulan yang ramah lingkungan. "Program biogas ini sangat membantu warga untuk berhemat dalam penggunaan gas, juga lebih ramah lingkungan," ujar Wayan Suweja di Desa Bongkasa, beberapa waktu lalu.

Dengan memanfaatkan biogas, masyarakat dapat menghemat biaya gas sekitar Rp 800 ribu per bulan per kepala keluarga. Gas yang berasal dari biogas juga lebih berkualitas sehingga dapat membuat masakan lebih cepat matang. Tandanya, dengan api yang berwarna lebih biru.

Selain gas, pemilik biogas juga memanfaatkan pupuk cair dan padat hasil dari pengolahan gas. "Terusan dari gas itu akan menghasilkan pupuk cair dan pupuk padat yang bisa digunakan untuk sawah," kata Wayan.

Wayan menjelaskan proses pengolahan limbah tersebut. Pertama, limbah kotoran dimasukkan ke dalam alat mixer dengan komposisi air dan kotoran 1: 1,5 untuk kotoran babi dan 1: 1 untuk limbah kotoran sapi. Hasil campuran kotoran tersebut diaduk di mixer. Setelah itu, campuran kotoran dimasukkan ke dalam alat yang disebut digester biogas. Digester berukuran 4x 11 meter dibangun di dalam tanah seperti septic tank yang berfungsi untuk menampung gas.

Gas yang ditampung lalu dialirkan lewat pipa ke satu kompor di dapur. Dari sebanyak 20 kilogram (kg) kotoran dihasilkan biogas yang dapat digunakan untuk memasak selama empat jam nonstop. Menurut Nyoman Juni, salah satu penduduk yang memanfaatkan biogas, penggunaan biogas membuat masakan cepat matang, sehingga biaya dapur pun lebih hemat.

Banyak masyarakat yang memanfaatkan biogas hanya perlu membeli gas elpiji saat ada perayaan hindu setiap 3 bulan sekali, itupun hanya membeli satu tabung gas seharga Rp 20 ribu.

"Saya beli 1 tabung gas elpiji juga karena masak banyak waktu ada perayaan. Itu juga harganya cuma Rp 20 ribu," kata Nyoman.

Sementara itu, pupuk cair dan padat dapat dijual dengan harga Rp 1.000 per liter untuk cair dan Rp 400 per kg untuk padat.

Kendati begitu, upaya untuk mengembangkan biogas di desa ini tidaklah mudah. Program yang dirintis pada November 2018 ini tidak langsung ditanggapi dengan baik oleh warga desa tersebut karena biayanya yang relatif mahal yakni sekitar Rp 11 juta.

Namun, adanya cost sharing antara Danone Indonesia dan masyarakat telah meringankan beban cicilan pembuatan biogas. Ini juga tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang besar. Menurut Wayan, masyarakat hanya perlu disiplin melakukan pengisian limbah kotoran setiap hari.

"Kalau lebih dari 7 hari, bakteri di degister nanti tidak dapat makanan dari kotoran hewan. Nanti bakteri mati," kata Wayan.

photo
Koordinator BUMDES Desa Bongkasa Pertiwi, Bali, tengah mengolah limbah kotoran sapi dan babi untuk dijadikan biogas.

Pemanfaatan pupuk

Pemanfaatan pupuk cair dan padat dari proses biogas di persawahan telah terbukti meningkatkan mutu gabah padi yang dihasilkan. Menurut Ketut Sukasna, pemilik sebidang areal sawah di desa Bongkasa, dengan menggunakan pupuk organik dari biogas, hasil panen menjadi meningkat dengan gabah yang lebih berat.

Sebelum menggunakan pupuk organik, berat gabah yang dihasilkan dari 0,15 ha lahan miliknya yakni sekitar 28 karung dengan berat 31 kilogram per karung. Setelah menggunakan pupuk organik, gabah yang dihasilkan yakni sekitar 24 karung dengan berat 41 kilogram.

"Rasanya juga beda, dan bertahan lama. Harganya lebih tinggi Rp 20 ribu per kilogram. Tapi di sini masih dikonsumsi sendiri," kata Ketut.

Kendati begitu, ia merasakan pemanfaatan pupuk organik dari biogas ini sangat bagus untuk sawahnya. Saat ini ia baru memanfaatkan selama dua kali penanaman. Setelah dua tahun atau enam kali masa tanam, beras yang dipanennya dapat disebut organik apabila dijual.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement