Kamis 24 Oct 2019 14:27 WIB

SBY Temui Jokowi, Demokrat Tetap tak Dapat Jatah Menteri

Demokrat menghormati keputusan Jokowi.

Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/10).
Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (10/10).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Arif Satrio Nugroho, Febrian Fachri

Partai Demokrat resmi berada di luar pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Dari nama-nama menteri yang diumumkan oleh Presiden Jokowi masuk dalam Kabinet Indonesia Maju, pada Rabu (23/10), tidak ada wakil atau kader dari Partai Demokrat.

Baca Juga

Padahal, dua pekan lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah diundang Jokowi datang ke Istana Merdeka. Pertemuan antara SBY dan Jokowi itu pun seperti penanda bahwa akan ada kader Demokrat yang akan menjadi menteri Jokowi.

Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengaku pihaknya sempat diajak oleh Presiden Jokowi menjadi bagian dari koalisi pemerintahan pada periode keduanya ini. Namun, pada kenyataannya tidak ada satu pun kader Partai Demokrat yang mendapatkan jatah kursi di kabinet periode 2019-2024.

Kendati demikian, Hinca menegaskan, bahwa Partai Demokrat tetap menghormati keputusan Jokowi. Karena bagaimana pun, pemilihan kabinet adalah hak prerogatif Presiden Jokowi yang tidak bisa dipengaruhi oleh pihak mana pun.

"Partai Demokrat meyakini bahwa keputusan Jokowi untuk tidak menyertakan Partai Demokrat memiliki niat dan tujuan yang baik," ujar Hinca dalam keterangan persnya, Kamis (24/10).

Hinca mengatakan, Demokrat sudah menggelar rapat pleno terbatas pada 23 Oktober 2019. Hasilnya, sikap Demokrat lebih lanjut akan disampaikan langsung oleh, Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Diinstruksikan sekali Iagi agar para kader partai tidak mengeluarkan sikap dan pernyataannya sendiri-sendiri," kata Hinca, Kamis (24/10).

Demokrat juga melarang kadernya mengomentari penyusunan kabinet Jokowi. Partai Demokrat mengklaim legawa dengan keputusan Presiden Joko Widodo yang tak memasukkan satu pun kader Demokrat ke dalam kabinetnya. Padahal, dalam beberapa waktu terakhir, Jokowi telah beberapa kali bertemu petinggi Demokrat.

"DPP Partai Demokrat mengucapkan terima kasih atas disiplin dan kepatuhan seluruh kader partai yang tidak memberikan komentar apapun berkaitan dengan penyusunan Kabinet Presiden Jokowi yang baru saja dilaksanakan, apalagi yang sifatnya negatif," kata Hinca.

Kemudian, kata Hinca, tentang posisi Partai Demokrat apakah akan berkoalisi dengan pemerintah atau oposisi akan ditentukan oleh SBY. Namun, pada prinsipnya Partai Demokrat ingin berperan dan berkontribusi agar pemerintahan Presiden Jokowi sukses dalam mengemban amanahnya.

"Tentu saja Demokrat akan sangat serius memperjuangkan aspirasi rakyat kita memiliki masa depan yang lebih  baik. Serta mendapatkan kesejahteraan, keadilan, kedamaian, dan kebebasan hakiki yang dijamin oleh konstitusi kita," harap Hinca.

Sebelumnya, Ketua Fraksi Demokrat di DPR, Edhie Baskoro Yudhoyono yang juga putra SBY mengatakan, Partai Demokrat akan mendukung program Jokowi-Ma'ruf Amin yang menyejahterakan masyarakat. Namun, mereka juga akan mengawasi dan mengkritisi kerja pemerintah yang dinilai tidak memuaskan.

"Yang penting negara adil, rakyat sejahtera. Selama ini sama Partai Demokrat, fraksi Partai Demokrat yang sudah baik dilanjutkan, yang belum baik diperbaiki," ujar Ibas.

Hubungan Mega-SBY

Sebelum Jokowi mengumumkan dan melantikan Kabinet Indonesia Kerja, pengamat politik dari Universitas Andalas Najmuddin M Rasul kepada Republika mengatakan, peluang Partai Demokrat mendapatkan jatah kursi menteri dari pemerintah Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sangat tipis. Demokrat tetap punya ganjalan, yakni tidak ada restu dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri yang selama ini punya hubungan kurang harmonis dengan SBY.

"Hubungan SBY dan Megawati tidak pernah harmonis. Kedua tokoh ini sulit untuk disatukan," kata Najmuddin, kepada Republika.co.id, Selasa (22/10).

Hubungan SBY dan Megawati sudah retak sejak 2004 lalu. SBY yang merupakan salah satu menteri utama di pemerintahan Megawati sejak 2001-2004 dengan jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Pada akhir pemerintahan Megawati, SBY memilih mundur dan berjuang bersama Partai Demokrat yang ia dirikan sejak 2001.

SBY kemudian mengalahkan Megawati di Pilpres 2004. Saat itu, ada kesan dari Mega bahwa SBY telah mengkhianatinya di kancah politik.

Menurut Najmuddin, Demokrat harus menegaskan posisinya kembali supaya raihan suara partai berlambang bintang mercy tersebut kembali naik. Diketahui suara Demokrat di Pemilu 2019 hanya 7,77 persen di peringkat ketujuh.

Agar suara partai penguasa 2004-2014 ini kembali naik, menurut Najmuddin, Demokrat dan SBY harus menjadi oposisi yang kritis bagi pemerintah. Tidak seperti lima tahun belakangan saat sikap SBY dan Demokrat selalu abu-abu.

Bila SBY dan Demokrat menjadi oposisi yang kritis, menurut Najmuddin, akan membuat Demokrat kembali kuat. Nantinya, Demokrat dapat memudahkan jalan AHY menjadi capres 2024. Apalagi, di luar pemerintahan, Demokrat bisa bergandengan dengan PKS dan PAN yang sudah hampir pasti akan menjadi oposisi.

"Demokrat bisa bermitra lagi dengan PKS dan PAN dari luar pemerintah," ujar Najmuddin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement