Rabu 23 Oct 2019 17:07 WIB

Pesantren Sebagai Laboratorium Perdamaian

Sikap moderat dalam beragama penting bagi masyarakat yang plural dan multikultural.

 Pesantren sebagai Laboratorium Perdamaian
Pesantren sebagai Laboratorium Perdamaian

REPUBLIKA.CO.ID, CIMAHI -- Pemerintah Kota Cimahi menggelar Peringatan Hari Santri Nasional tingkat Kota Cimahi yang bertempat di Lapangan Parkir Pemkot Cimahi, beberapa waktu lalu. Ratusan Santri mengikuti acara tersebut  yang diisi dengan defile perwakilan pondok pesantren se-Kota Cimahi. Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna  menyampaikan  peringatan Hari Santri 2019 mengusung tema "Santri  Indonesia Untuk Perdamaian Dunia".

Isu perdamaian diangkat berdasar fakta bahwa sejatinya pesantren adalah laboratorium perdamaian. "Sebagai laboratorium perdamaian, pesantren merupakan tempat menyemai ajaran Islam rahmatanlilalamin, Islam ramah dan moderat dalam beragama. Sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang plural dan multikultural. semangat ajaran inilah yang dapat menginspirasi santri untuk berkontribusi merawat perdamaian dunia," ujar Ajay dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (23/10).

Dikatakan Ajay, setidaknya ada sembilan alasan dan dasar mengapa pesantren layak disebut sebagai laboratorium perdamaian. Pertama, kesadaran harmoni beragama dan berbangsa. Perrlawanan kultural di masa penjajahan, hingga melawan pemberontakan PKI, semua itu tidak lepas dari peran kalangan pesantren. Sampai hari ini pun komitmen santri sebagai generasi pecinta tanah air tidak kunjung pudar.

Sebab, mereka masih berpegang teguh pada kaidah hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Kedua, menurutnya metode mengaji dan mengkaji. Di pesantren diterapkan a keterbukaan kajian yang bersumber dari berbagai kitab, bahkan sampai kajian lintas mazhab. tatkala muncul masalah hukum, para santri menggunakan metode bahsul masail yaitu mencari kekuatan hukum dengan cara meneliti dan mendiskusikan secara ilmiah sebelum menjadi keputusan hukum.  

"Ketiga, para santri biasa diajarkan untuk khidmah (pengabdian). Ini merupakan ruh dan prinsip loyalitas santri yang dibingkai dalam paradigma etika agama dan realitas kebutuhan sosial.  Keempat, pendidikan kemandirian, kerja sama dan saling membantu di kalangan santri," ujar Ajay. Kelima, gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra tumbuh subur di pesantren. Keenam, lahirnya beragam, kelompok diskusi dalam skala kecil maupun besar untuk membahas hal-hal remeh sampai yang serius.  Ketujuh, merawat khazanah kearifan lokal, relasi agama dan tradisi begitu kental dalam kehidupan masyarakat indonesia. Kedelapan, prinsip maslahat (kepentingan umum) merupakan pegangan yang sudah tidak bisa ditawar lagi oleh kalangan pesantren. 

"Serta kesembilan penanaman spiritual. Tidak hanya soal hukum islam (fikih) yang didalami, banyak pesantren juga melatih para santrinya untuk tazkiyatunnafs. Yaitu proses pembersihan hati," ungkapnya. Menurut Ajay, ini biasanya dilakukan melalui amalan zikir dan puasa. Sehingga akan melahirkan fikiran dan tindakan yang bersih dan benar.

Dikatakannya, dewasa ini santri juga hidup di tengah dunia digital juga teknologi informasi yang tidak bisa dihindari. "Internet adalah bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang menghubungkan manusia sejagat dalam dunia maya. Para santri perlu ‘memperalat’ teknologi informasi sebagai media dakwah dan sarana menyebarkan kebaikan dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak sejalan dengan upaya untuk menjaga agama, jiwa, akal, harta, keluarga, dan martabat seseorang," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement