REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Penggunaan bahasa humor di poster-poster dalam aksi-aksi demo mahasiswa kian marak dijumpai. Tapi, komika Sakdiyah Mar'uf menilai, bahasa humor dalam komunikasi politik bukan hal baru.
Ia mengatakan, awalnya bahasa humor banyak dipakai kaum marjinal sebagai alat berbicara. Sakdiyah menilai, rakyat kecil dan kelompok minoritas menggunakan olok-olok untuk refleksi diri sendiri.
"Sekaligus, merefleksikan kondisi bangsa," kata Sakdiyah saat menjadi pembicara seminar Melawan dengan Gembira: Humor Dalam Komunikasi Politik Kebangsaan di PSKK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (21/10).
Saat ini, bahasa humor kembali banyak bermunculan dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang masuk kategori generasi milenial. Kaum milenial berusaha menyampaikan aspirasi politik lewat cara-cara baru.
Seorang mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jawa Timur membentangkan poster ketika aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD Jatim, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (26/9/2019).
Sakdiyah menuturkan, setidaknya ada empat gaya yang sering digunakan dalam aksi demo mahasiswa. Pertama, yang langsung fokus kepada isu yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Dia mencontohkan demo mahasiswa di DPR/MPR yang menolak RKUHP dan UU KPK. Salah satu contoh poster-poster yang dibawa berisi tulisan, seperti "DPR Sudah Paling Benar Tidur, Malah Disuruh Kerja."
Seorang mahasiswa membentangkan poster saat berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di Gedung DPRD Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019).
Kedua, menggunakan referensi budaya pop. Sakdiah mengungkapkan, salah satu contoh penggunaan budaya pop ialah penggunaan kata-kata "Drama Korea tidak Seasik Drama DPR".
Ketiga, referensi kehidupan kerap pula jadi bahan menyampaikan aspirasi. Contohnya, poster yang berisikan tulisan "Cukup Cintaku yang kandas, KPK Jangan".
POSTER. Selebaran yang dipasang mahasiswa dalam rangkaian aksi di depan Kompleks Gedung Parlemen RI berakhir dengan bentrok, Selasa (24/9).
Keempat, penggunaan bahasa secara acak seperti poster bertuliskan "Aku Bingung Mau Tulis Apa". Sakdiyah melihat, saat ini ini terjadi krisis selera humor di Tanah Air, terutama ketika masa-masa kampanye pemilu lalu. Ia berpendapat, tradisi humor politik menemui puncak kejayaan di era Gus Dur.
"Terobosan sangat diperlukan dan hanya bisa muncul dari keterbukaan dan kenegarawanan para politisi dan pemimpin bangsa," ujar Sakdiyah.
Untuk itu, Sakdiyah berharap, komedian-komedian Tanah Air bisa lebih berani menyampaikan aspirasi melalui guyonannya. Sakdiyah turut berharap, dalam lima tahun mendatang satire bisa memimpin sebagai kontrol.
"Kalau media jadi pilar keempat demokrasi, maka satire harapanya bisa menjadi pilar kelima demokrasi," kata Sakdiyah.