Selasa 22 Oct 2019 18:24 WIB

Penanganan KDRT Terkendala Status Pernikahan

Hingga September 2019, di Kabupaten Semarang terjadi 107 kasus KDRT.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Sebagian masyarakat di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, ditengarai mulai mengabaikan peran lembaga pernikahan resmi yang sudah jelas diakui oleh pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sebagian dari mereka yang memilih melakukan pernikahan di bawah tangan (nikah siri) dan enggan menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA).

Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang, HM Risun mengatakan, pernikahan di bawah tangan bisa menjadi persoalan. Terutama jika terjadi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). "Termasuk dalam hal penyelesaian administrasi kependudukan, sebagai bagian dari kewajiban warga negara," ungkapnya, Selasa (22/10).

Data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan KB (DP3AKB) Kabupaten Semarang menunjukkan, hingga September 2019 di daerahnya terjadi sedikitnya 107 kasus KDRT.

Sejumlah kasus di antaranya mengalami kesulitan dalam penanganan, karena status pernikahan pasangan yang bersangkutan tidak sah menurut hukum formal pemerintah. Risun juga menyebut, faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab pasangan memilih tidak mengurus status hukum pernikahan mereka secara sah.

Maka Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Semarang perlu memberikan jalan keluar sebagai solusi terhadap permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya tersebut. Hal ini diamini oleh Kasubag Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Bagian Kesra, Widi Winarti.

Menurutnya, selain alasan pasangan kurang mampu, juga banyak laporan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) tentang kendala penyelesaian administrasi kependudukan.

“Banyak ditemui penyelesaian akte kelahiran anak yang tidak bisa mencantumkan nama bapak, karena status pernikahannya belum sah sesuai hukum formal pemerintah,” ungkapnya.

Untuk itu, masih jelas Winarti, Pemkab Semarang akan menggelar acara pernikahan massal dengan sasaran 50 pasangan kurang mampu, penyandang disabilitas, dan pasangan nikah siri.

"Melalui program ini, Pemkab Semarang berupaya memberikan perlindungan pada pasangan suami istri agar sah di mata hukum agama dan pemerintah,” tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement