Senin 21 Oct 2019 17:12 WIB

Setiap Lembaga Harus Mengatasi Konflik di Papua

Setiap lembaga harus bahu membahu atasi konflik di Papua.

Rep: Erik PP/ Red: Muhammad Hafil
Diskusi bertema
Foto: Erik PP
Diskusi bertema "Jalan Damai Penyelesaian Konflik di Papua" di Universitas Satya Negara Indonesia (USNI), Jakarta Selatan, Senin (21/10). Erik PP

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian LIPI, Adriana Elisabeth mengatakan, harmonisasi kelembagaan sangat dibutuhkan dalam menangani permasalahan di Papua. Dia menyarankan, setiap lembaga pemerintahan baik di pusat maupun daerah harus bahu-membahu dalam penyelesaian konflik di Bumi Cendrawasih tersebut. 

"Kita harus menjalankan harmonisasi pendekatan yakni dengan adanya dialog dan pendekatan pembangunan. Harmonisasi kelembagaan itu penting karena setiap lembaga harus bahu-membahu dalam mengatasi konflik di Papua," kata Adriana dalam diskusi bertema "Jalan Damai Penyelesaian Konflik di Papua" di Universitas Satya Negara Indonesia (USNI), Jakarta Selatan, Senin (21/10). 

Dalam melakukan resolusi konflik di Papua, menurut Adriana, perlu manajemen konflik dengan mengurangi perbedaan pemahaman. Pencegahan konflik juga diperlukan melalui pendekatan keamanan manusia dengan cara membangun kohesi sosial antarwarga Papua. 

"Kemudian pemberdayaan secara inklusif; adanya perdamaian dalam agama, masyarakat, perempuan dan pemuda, dan adanya ketahanan nasional dengan cara evaluasi regulasi, penguatan kelembagaan, koordinasi dan sinergi," ujar Adriana. 

Tokoh muda Papua, Methodius Kosas, menjelaskan, kehidupan situasi dan kondisi yang terjadi di Papua dari beberapa tahun yang lalu sudah diwarnai oleh kekerasan. Hal itu mengakibatkan adanya luka batin kepercayaan yang dialami dengan pendekatan budaya, religiusitas, humanistik, dan personal. "Dan inti dari konflik Papua yaitu damai tanpa adanya kekerasan, menghargai satu sama lain dan keterlibatan antarpihak," jelasnya. 

Ketua Program Studi Hubungan Internasional USNI, Pradono Budi Saputro, dalam kesempatan itu menjabatkan soal Papua yang resmi bergabung dengan NKRI setelah diadakannya Pepera (Penentuan pendapat rakyat ) pada 1969. Hasil tersebut, lanjut dia, kemudian dikukuhkan dengan resolusi PBB 2504. Namun, menurut Pradono, tidak semua kelompok puas dengan hasil Pepera tersebut, salah satunya adalah kelompok yang bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka). 

Kemudian, lanjut dia, adanya NGO yang mengatasi isu Papua, yaitu Melanessia Sparehard Group (MSG) dan adanya WLMP yang merupakan organisasi nonpemerintah yang telah disahkan oleh PBB untuk mengatasi isu permasalahan HAM yang ada di Papua. "Indonesia sebagai negara anggota observer WLMP dan MSG untuk mengatasi permasalahan yang ada Papua dengan cara melakukan diplomasi persuasif," jelas Pradono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement