REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta masih enggan menanggapi soal besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta yang sebelumnya telah diumumkan Kementerian Ketenagakerjaan naik 8,51 persen pada 2020 mendatang. Dinas Tenaga Kerja DKI masih ingin menunggu hasil survei terbaru Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Jakarta dan kajian bersama Dewan Pengupahan Jakarta.
Besaran kenaikan UMP DKI Jakarta pada 2020 didasarkan pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri tertanggal 15 Oktober 2019. Dalam Surat Edaran tersebut besaran kenaikan UMP DKI Jakarta sebesar Rp 4.276.349 pada 2020 dari sebelumnya pada 2019 sebesar Rp Rp 3.940.973. Kajian UMP 2020 Kemenaker tersebut berdasarkan angka inflasi nasional tercatat 3,39 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional 5,12 persen.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta, Andri Yansyah, mengatakan, pihaknya belum mengumumkan secara resmi soal besaran UMP Jakarta karena proses sidang akhir soal besaran UMP di dewan pengupahan.
"Ya nanti di dewan pengupahan, masing-masing kita akan mendengarkan seperti apa," kata Andri, Ahad (20/10).
Disnakertrans juga akan mendengarkan pendapat dari serikat seperti apa, asosiasi pengusaha seperti apa, dari pemerintah seperti apa. Semua tanggapan tersebut, kata dia, nanti akan dirumuskan dengan memperhatikan survei terbaru KHL yang sudah dilakukan. "Nah itu yang nanti akan menjadi rujukan atau rekomendasi kepada Gubernur," ujar dia.
Andri menyebut, dari Gubernur DKI Jakarta rencana mengeluarkan pergub UMP kemungkinan pada 1 November 2019 mendatang. Pengumuman ini dilakukan serentak dilakukan juga oleh seluruh gubernur se-Indonesia. Soal Surat Edaran dari Kemenaker, ia menyebut, surat itu juga akan menjadi acuan bersama.
"Iya, jadi semuanya bisa mengacu ke arah sana, bisa juga mengacu dari masukan masing-masing pihak. Jadikan kita kan belum tahu pada saat proses ke dewan pengupahan seperti apa," kata dia menjelaskan.
Soal besaran KHL di Jakarta, ia menyebut, besarannya sudah menjadi masukan dan sudah dipertimbangkan. Namun, pihaknya belum bisa mengumumkan begitu saja. Namun, ia menilai, hasil KHL bisa di atas atau di bawah dari yang telah ditetapkan pemerintah.
"Tapi, saya belum bisa menyampaikan. Jadi, maksud saya, rujukan-rujukan itu yang dijadikan dasar rekomendasi penetapan dari UMP," kata Andri.
Ia mengakui, Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta sudah beberapa kali melakukan pembahasan dengan dewan pengupahan. Mana item yang dijadikan survei, penentuan lokasi survei, pemasukan input-input survei, pengumuman hasil survei sehingga nanti dijadikan pedoman rapat dewan pengupahan.
"Kita sudah dua kali mengadakan rapat. Nah ketiga kali, rapat terakhir menetapkan atau merekomendasikan UMP yang akan diumumkan dalam pergub," kata dia. Ia mengatakan, akan ada rapat-rapat terakhir pada 23 oktober 2019, dan itu yang terakhir.
Serikat pekerja dari Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menyatakan, tetap menolak kenaikan UMP DKI Jakarta pada 2020. Sekretaris Jenderal KASBI, Sunarno, mengatakan, kenaikan tersebut masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang dianggap kurang relevan karena menggunakan metode penentu kenaikan UMP yang masih mengandalkan sidang rapat Dewan Pengupahan.
"Kalau ada PP, jadi buat apa ada dewan pengupahan dan untuk apa ada sidang," kata Sunarno.
Menurut Sunarno, PP itu jadi tidak relevan karena menjelaskan kenaikan UMP perlu melalui sidang Dewan Pengupahan yang terdiri atas pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah daerah. Artinya, tanpa menunggu Surat Edaran dari Kementerian Ketenagakerjaan mengenai pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional, nilai UMP sudah bisa diputuskan.
Sebagai jalan lainnya, Sunarno berharap, pemerintah bisa menggunakan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam menyusun upah pekerja yang menjelaskan kenaikan UMP dengan menghitung KHL di pasar. "Kalau pakai UU, kami mau karena di aturan itu juga dijelaskan mengenai UMP," ujar dia.
Unsur pengusaha di dalam Dewan Pengupahan menyebut, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar 8,51 persen cukup memberatkan. Pasalnya, ketentuan itu juga berlaku bagi pekerja baru, belum berpengalaman dan yang masih lajang.
Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengatakan, kenaikan tersebut memberatkan karena kondisi perekonomian global yang tidak menentu. Hal itu berpengaruh pada beberapa sektor bisnis, seperti ritel akibat pukulan bisnis daring dan usaha padat karya karena penurunan daya beli masyarakat.
"Walaupun kenaikan UMP DKI sebesar 8,51 persen, dengan kondisi ekonomi saat ini bagi pengusaha tetap menjadi beban berat," kata Sarman.
Kendati demikian, Sarman menyatakan, kalangan pengusaha akan menghormati dan mengikuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dalam menentukan nilai UMP. Meskipun, pengusaha berharap kenaikannya di kisaran Rp 4 juta.
"Kami inginnya UMP naik di kisaran angka Rp 4 juta saja, tapi kalau tidak mampu (membayarnya), kami akan secepatnya mengajukan penangguhan kepada pemerintah," ujar Sarman.