Rabu 16 Oct 2019 08:52 WIB

Janji KSAD tak Matikan Karier Prajurit

Ada 7 prajurit TNI AD yang dijatuhi sanksi terkait unggahan kasus penusukan Wiranto.

Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa saat memberikan keterangan terkait permasalahan taruna Akademi Militer (Akmil) Enzo Zenz Allie di Mabes TNI Angkatan Darat, Jakarta, Selasa (13/8).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa saat memberikan keterangan terkait permasalahan taruna Akademi Militer (Akmil) Enzo Zenz Allie di Mabes TNI Angkatan Darat, Jakarta, Selasa (13/8).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Dian Erika Nugraheny

Para prajurit TNI Angkatan Darat (AD) yang diberi hukuman disiplin militer karena perilakunya atau keluarganya di media sosial (medsos) masih dapat melanjutkan karier mereka. Hukuman itu disebut sebagai sanksi paling ringan dari beberapa pilihan yang ada.

Baca Juga

"Saya melihat bahwa anggota kita adalah anggota-anggota yang sebenarnya adalah prajurit yang bagus, kami harus mengingatkan karena sudah berkali-kali kita ingatkan agar kita lebih bertanggung jawab. Tapi juga kami tidak ingin mematikan karier mereka," ujar Kepala Staf TNI AD, Jenderal Andika Perkasa, di Mabes TNI AD, Jakarta, Selasa (15/10).

Andika menjelaskan, TNI AD telah mengeluarkan perintah ke satuan bawah untuk bijak menggunkan media sosial (medsos) sejak tahun lalu dan berulang kali. Perintah tersebut, kata dia, sudah diberikan sejak tahun lalu pada Juli dan Agustus dan ditujukan bukan hanya kepada anggota saja, tetapi juga kepada keluarganya. Menurut Andika, perintah itu dikeluarkan setiap kali terjadi insiden penyalahgunaan medsos.

"Penggunaan medsos ini harus kita kontrol. Karena memang, satu, ini suatu hal yang tidak bertanggung jawab. Kami ingin TNI AD dan keluarganya itu mempunyai rambu dalam bermedia sosial. Media sosial adalah hak setiap orang, tetapi juga mereka harus tahu batasnya," kata dia.

Setelah dua kali pada 2018, pada Januari, April, dan Agustus 2019 perintah tersebut kembali dikeluarkan karena terjadi insiden yang serupa. TNI AD memerintahkan setiap komandan satuan untuk mengingatkan hal tersebut dan me indak tegas prajurit atau keluarganya yang melakukan penyalahgunaan media sosial.

Ia menjelaskan, hukuman disiplin militer pada dasarnya merupakan suatu bentuk pembinaan kepada prajurit. Hukuman itu merupakan yang paling ringan. Menurutnya, TNI sebetulnya memiliki beberapa opsi selain pemberian hukuman disiplin militer, yakni hukum pidana militer dan pemberhentian dengan tidak hormat dari dinas keprajuritan.

Andika menerangkan, pemberian sanksi hukuman disiplin militer karena ia ingin prajurit-prajurit tersebut tetap memiliki kesempatan setelah menjalani hukuman. Prajurit-prajurit itu, kata dia, masih bisa kembali ke jalurnya menjadi pimpinan di kemudian hari.

"Karena sudah banyak contoh yang dialami para senior yang juga pernah tapi belajar, maksudnya pernah tersandung tapi kemudian belajar memperbaiki diri sehingga menjadi prajurit yang lebih profesional," ungkap Andika.

Proses pemberian hukuman pada hukuman disiplin militer berbeda dengan proses hukuman pidana militer. TNI AD melaksanakan pemberian hukuman melalui mekanisme internal, tidak melalui peradilan militer.

"Jadi prosesnya berbeda dengan proses hukuman pidana militer. Karena kalau proses pidana maka akan kami limpahkan kepada proses peradilan militer," jelasnya.

photo
Irma Zulkifli Nasution Hendari, istri mantan Komandan Kodim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi, menangis usai Upacara Sertijab Komandan Kodim 1417 Kendari di Aula Tamalaki Korem 143 Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (12/10/2019).

Andika mengatakan, pihaknya telah memberikan sanksi kepada tujuh prajurit TNI AD terkait unggahan di media sosial soal insiden penusukan Menko Polhukam Wiranto. "Sampai dengan hari ini, TNI Angkatan Darat sudah memberikan sanksi kepada tujuh orang prajurit. Dua anggota, rekan-rekan media sudah mendengar semua pada hari Jumat (11/10) kemarin, kemudian tambahan lima sudah kita putuskan dan sedang kita proses," kata Andika di Mabes TNI AD, Jakarta Pusat, Selasa.

Andika menjelaskan, dari enam anggota yang mendapat sanksi disebabkan anggota keluarganya yang mengunggah sindiran terkait insiden penusukan Wiranto. Sedangkan seorang lainnya merupakan anggota TNI itu sendiri yang menyalahgunakan media sosial. Karena itu, hukuman disiplin yang diterima seorang anggota TNI itu berbeda.

"Kita jatuhi hukuman disiplin militer, kepada satu orang adalah berupa penahanan ringan maksimal 12 hari. Tapi kepada satu orang karena yang bersangkutan sendiri yang menyalahgunakan media sosial kita jatuhi tetap hukuman disiplin militer, tapi penahanan berat maksimal 21 hari," ujar Andika.

Salah satu prajurit yang dijatuhi sanksi adalah Dandim Kendari Kolonel HS yang dicopot dari jabatannya. Pencopotan Kolonel HS bermula saat sang istri, Irma Zulkifli Nasution, mengunggah status di media sosial terkait peristiwa penusukan Menko polhukam Wiranto. Irma sendiri terancam proses peradilan umum atas dugaan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

HS mulai menjalani proses hukuman disiplin sejak Sabtu (12/10). Karena kondisi tempat penahanan Korem 143 Haluoleo, Hendi dititipkan ke Denpom Kendari.

"Jadi dititipkan di Denpom. Prinsipnya kalau disiplin itu kan di satuan itu sendiri. Kalau POM itu pidana. Jadi istilahnya titipan (tahanan)," kata Kapendam XIV Hasanuddin, Kolonel Maskun Nafik.

Sanksi terhadap Kolonel HS dan prajurit lainnya sempat dikritisi oleh peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Ia menilai, ada reaksi yang berlebihan dalam proses pencopotan Kolonel HS.

"Apakah diskriminatif? Saya kira ini lebih tepat disebut sebagai reaksi berlebihan, melampaui prosedur yang diatur oleh undang-undang. Mengapa? Karena dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tanpa pemeriksaan yang cukup, dan kurang mengindahkan asas praduga tidak bersalah yang jelas diatur dalam undang-undang," ujar Khairul saat dikonfirmasi Republika, Ahad (13/10).

Fahmi menilai, sikap reaktif itu tidak tepat dilakukan TNI sebagai salah satu institusi negara. Meski di sisi lain, masalah moral dan etika yang diduga menjadi pangkal persoalan juga tidak dapat dibenarkan.

"Saya kira nggak tepat dilakukan oleh sebuah institusi negara," kata dia.

Fahmi mengatakan, proses pencopotan itu dilakukan sebelum ada upaya penegakan hukum apa pun yang dilakukan terhadap terduga pelaku istri Kolonel HS, IZN. Sehingga, kata Khairul, kondisi ini menyebabkan spekulasi berkembang terkait apa yang sesungguhnya terjadi. Hal itu juga menjadi solusi yang keliru terkait problem etika di media sosial.

Khairul menilai, tidak ada tanggung renteng dalam hukum kecuali untuk urusan utang-piutang. "Walau pun hukuman itu dianggap sebagai konsekuensi tanggung jawab moral seorang suami yang merupakan perwira TNI, bagaimanapun si istri ini sipil dengan segala hak dan kewajiban yang melekat padanya. Termasuk hak politik dan kebebasan berekspresi."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement