REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pendidikan nasional selain mampu menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas juga dapat membentuk watak perilaku utama. Apabila berkaca pada kehidupan di masyarakat, karakter utama itu muncul dalam sifat keteladanan, keadilan, kejujuran, kebenaran, keberanian, kemerdekaan, kedisiplinan, dan tanggung jawab.
Nilai-nilai utama tersebut harus melekat menjadi karakter bangsa untuk melawan penyakit mental yang cenderung hedonis, konsumtif, dan menerabas, yang menyebabkan bangsa Indonesia tertinggal dari bangsa-bangsa lain.
“Bangsa Indonesia tidak akan tiba-tiba maju dan mampu menghadapi serta berkualitas unggul di era revolusi industri 4.0 secara instan dan dangkal. Inilah yang seharusnya kita pahami bersama,’’ kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir dalam perbincangan dengan Republika di Yogyakarta, Jumat (11/10).
Untuk mencapai apa yang sudah dicanangkan tadi, Haedar mengusulkan perlunya gerakan pendidikan dan rekonstruksi nasional yang 'mencerdaskan kehidupan bangsa' baik secara sistematis dan berkelanjutan melalui proses yang long term atau jangka panjang dan multidimensi. Menurutnya, apalah artinya generasi bangsa berkeahlian secara teknis atau instrumental dalam penguasaan teknologi informasi dan aspek kognisi semata tanpa topangan basis karakter dan budaya cerdas.
Di sisi lain, lanjut pria kelahiran Bandung 61 tahun silam ini, pendidikan seolah harus dibawa ke serbateknologi digital dan urusan ekonomi. Padahal, pendidikan yang benar harus sepenuhnya urusan membangun akal budi secara luas, termasuk mendidik karakter bangsa secara berkelanjutan. Aspek teknologi memang penting seirama dengan kemajuan zaman, tetapi merupakan faktor pendukung bagi usaha mendasar dalam pendidikan yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
“Sebenarnya kalo kita ingat, dalam bait lagu Indonesia Raya sangatlah terang pesan kebangsaan itu: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Proses membangun jiwa-raga dan akal-budi sungguh tidak dapat melompat secara tiba-tiba, tetapi harus sistemik dan berkelanjutan," katanya.
Rekonstruksi sistem pendidikan
Berkaitan mewujudkan pendidikan yang berkualitas dalam rangka membangun jiwa raga dan akal budi tadi, Haedar mengusulkan perlunya merekonstruksi sistem pendidikan nasional. Menurut dia, pendidikan nasional yang selama ini berlaku harus direkonstruksi menjadi sistem pendidikan yang mencerahkan, dengan visi terbentuknya manusia pembelajar yang bertakwa, berakhlak mulia, dan berkemajuan.
Mengenai misi dari sistem pendidikan mencerahkan yang harus dicapai adalah (1) Mendidik manusia agar memiliki kesadaran ilahiah, jujur, dan berkepribadian mulia; (2) Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki jiwa pembaruan, berpikir cerdas, kreatif, inovatif, dan berwawasan luas.
Selanjutnya tidak kalah penting, yaitu (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, dan kompetitif; (4) Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan keterampilan sosial, teknologi, informasi, dan komunikasi serta (5) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, daya cipta, dan kemampuan mengapresiasi karya seni budaya.
Kemudian terakhir, yaitu (6) Membentuk kader bangsa yang ikhlas, bermoral, peka, peduli, serta bertanggung jawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan. “Pendidikan nasional yang holistik tersebut melibatkan seluruh elemen bangsa sehingga menjadi gerakan dan strategi kebudayaan nasional yang menyeluruh menuju kemajuan hidup bangsa yang bermartabat," katanya.
Peran Kebangsaan
Indonesia diperjuangkan dan dibangun oleh seluruh komponen atau kekuatan nasional sejak zaman perjuangan kemerdekaan sampai setelah merdeka tahun 1945. Sesuai dengan posisi dan perannya semua komponen nasional begerak memperjuangkan Indonesia bebas dari penjajahan serta setelah itu membangun menjadi negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa dalam wujud cita-cita nasional.
Tidak ada yang paling berjasa dalam perjuangan dan pembangunan Indonesia, semuanya memainkan perannya yang konstruktif. Ketika berdiri dalam posisi kritis tehadap pemerintah pun sebenarnya merupakan bagian dari kiprah kebangsaan agar negara dan bangsa Indonesia tetap luruh di jalan perjuangannya yang benar sesuai konstitusi dan spirit nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa.
Muhammadiyah selama perjalanan sejarahnya sampai kapan pun selalu bersama Indonesia, bukan klaim-klaim cinta bangsa secara retorika dan komoditisasi citra, tetapi melalui usaha-usaha nyata untuk kemajuan Indonesia.
Muhammadiyah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan nasional yang sejak berdirinya tahun 1912 terlibat aktif dalam perjuangan politik kebangsaan serta membangun bangsa melalui gerakan dakwah yang berorientasi pada pembaruan serta mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia.
Muhammadiyah melalui dakwah amar makruf nahi mungkar terus berkiprah tidak kenal lelah dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang muaranya menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang dalam terminologi keislaman ialah Indonesia yang Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.
Muhammadiyah memiliki komitmen dan tanggung jawab tinggi untuk memajukan kehidupan bangsa dan negara sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa. Muhammadiyah memiliki wawasan kebangsaan yang tegas: bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan konsensus nasional (dar al-‘ahdi) yang mengikat seluruh komponen bangsa sekaligus bukti sebagai kekuatan perekat, pemersatu, dan pembangun bangsa (dar al-syahadah).
Pada bagian lain, Haedar menyinggung soal posisi Muhammadiyah, setelah Indonesia merdeka, pada berbagai periode pemerintahan hingga periode reformasi, pengabdian Muhammadiyah terhadap bangsa dan negara terus berlanjut.
Khidmat kebangsaan ini didorong oleh keinginan yang kuat agar Indonesia mampu melangkah ke depan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan. Inilah bukti, lanjut dia, bahwa Muhammadiyah benar-benar 'berkeringat' di dalam usaha-usaha mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa, lebih khusus di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Praksis Al-Maun
Gerak pendidikan Muhammadiyah, kesehatan, dan lainnya, tersebar di seluruh tanah air hingga ke pelosok-pelosok terjauh, terdepan dan tertinggal dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Muhammadiyah memiliki teologi dan praksis al-Ma’un dalam mengembangkan filantropi sosial yang bersifat inklusif," paparnya.
Ditambahkan, gerakan Muhammadiyah selalu mengembangkan kehidupan bersama seluruh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan usaha-usaha lainnya dalam program praksis sosial dan filantropi yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan masyarakat.
Termasuk lanjut mantan Pemred Suara Muhammadiyah ini adalah program kemasyarakatan yang dilakukan oleh organisasi perempuan Muhammadiyah yakni ‘Aisyiyah. “Sejak dulu hingga kini ‘Aisyiyah selalu mengembangkan program-program inklusif di seluruh daerah dan kawasan Indonesia melalui praksis-sosial pemberdayaan masyarakat dan gerakan filantropi Islam," terangnya.
Ia mengisahkan, di Indonesia bagian Timur seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur dimana umat Islam minoritas, Muhammadiyah melakukan usaha-usaha di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan pemberdayaan masyarakat. Di Papua Muhammadiyah mendirikan perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial bagi penduduk setempat yang mayoritas Kristen dan Katolik, sebagai sarana atau jalan mengembangkan integrasi sosial.
“Bahkan guru atau dosen yang beragama Kristen dan Katolik ada yang mengajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah tersebut, termasuk mengajarkan kedua agama tersebut," ujarnya.
Muhammadiyah juga mengembangkan program pemberdayaan masyarakat untuk etnik suku-suku di Papua, salah satunya suku Kokoda di Papua Barat. Kemudian di pedalaman hutan Kalimantan Timur yaitu suku Dayak. Muhammadiyah mengembangkan program untuk suku Dayak yang beragama non Muslim tentang bagaimana bersama-sama menjaga hutan. Hal sama Muhammadiyah lakukan untuk komunitas masyarakat di pedalaman NTT dan Maluku, bahkan sampai ke Sangihe Provinsi Sulawesi Utara.
“Apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak terhalang oleh perbedaan agama dan etnik. Gerakan ini bagi Muhammadiyah merupakan wujud pluralisme Islam yang membumi, bukan retorika, dan jargon di atas kertas," katanya.