REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah buzzer (pendengung) akhir-akhir ini menjadi cukup populer. Karena dalam konteks tertentu, buzzer menjadi industri yang siap pakai untuk menggiring opini publik.
Namun pada praktiknya buzzer justru terkadang dikonotasikan negatif. Mereka diasosiasikan suka menyebarkan dan merusak informasi dengan konten hoaks dan menyesatkan. Padahal aktifitas buzzer ini sejatinya bisa bernilai positif dengan menjadi penggerak dan penyebar isu perdamaian, anti fitnah dan penyebaran hoaks.
Aktivis Media Sosial, Enda Nasution meminta kepada para mereka-mereka yang bekerja sebagai buzzer, hal tersebut merupakan skill atau sebuah kemampuan dan pengetahuan serta pengalaman yang bagus untuk mengelola dan menyebarkan informasi yang positif dalam upaya menjaga perdamaian dan persatuan.
“Perlu diingat bahwa menyebarkan informasi yang bisa menyesatkan dan memecah persatuan bukan saja melanggar hukum tapi, juga jahat dan melanggar hukum agama. Sudah seharusnyalah teman-teman yang bekerja untuk melakukan penyebaran kebencian seperti itu untuk setop melakukan itu dan kemudian menggunakan kemampuan dan pengalamannya untuk menyebarkan informasi-informasi yang sifatnya positif dan menjaga perdamaian,” kata Enda di Jakarta, Sabtu (12/10).
Dikatakan Enda, masyarakat pengguna media sosial yang cerdas dan rajin, tentunya bisa membuat buzzer penyebar fitnah ini untuk tidak ada lagi di Indonesia. Karena dengan kecedasan yang dimiliki masyarakat maka tidak ada lagi ruang untuk mereka bisa memanipulasi informasi atau memprovokasi masyarakat dengan sengaja untuk menyebarkan lagi informasinya.
“Sehingga perilaku kita yang menggunakan media sosial secara bijaklah yang utama jangan mau diprovokasi, jangan menjadi user yang malas. Harus rajin dan sadar bahwa ini ada perang opini di dunia maya. Jangan tanpa kita mengerti betul isunya atau opininya, dan jangan mau jadi orang yang dimanipulasi,” ujar Enda.
Dalam kesempatan tersebut Enda menjelaskan bahwa selama ini ada semacam kesalahan persepsi tentang buzzer. Definisi buzzer itu sebenarnya adalah akun-akun tanpa identitas yang jelas, tapi punya misi, tugas ataupun kesukarelaan untuk menginfokan tentang informasi-informasi yang dia punya.
“Latar belakang motivasinya bisa memotivasi ekonomi, dibayar atau juga bisa motivasi ideologis atau prereferensi untuk atau relawan untuk mendukung sebuah isu atau kampanye tertentu. Ini yang saya katakan sebagai buzzer. Karena memang istilahnya itu nge-buzz yang tidak jelas dimana kita hanya ramai, tapi kemudian tidak ada informasi yang yang kredibel, sumbernya dari mana, kita tidak bisa tahu,” ujar Enda.