REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini wacana menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) masih menjadi polemik. Tidak sedikit yang tidak setuju produk orde baru itu dihadirkan kembali ke dalam kancah perpolitikan masa kini. Sementara Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) diisukan setuju dengan adanya amandemen UUD 1945.
Menanggapi itu, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas menegaskan untuk saat ini tidak perlu amendemen UUD 1945. Abbas beralasan, sampai sekarang negara sudah berada di jalur yang benar.
"Kita belum melihat urgensi dari amendemen UUD 1945. Setidaknya saya pribadi tidak melihat ada urgensi untuk amendemen sebagian atau keseluruhan," ujar Abbas dalam diskusi di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Senin (14/10).
Selain itu, lanjut Abbas, negara juga sedang mengalami kemajuan dalam pembangunan nasional. Itu setelah dilakukan reformasi di berbagai sektor. Sebagai contoh, reformasi di bidang pendidikan, kemiskinan dan lainnya. Fakta bahwa negara sudah berada di jalur yang benar diketahui melalui survei SMRC.
"Dalam survei, kami (SMRC) selalu kita tanyakan. Hasilnya, masyarakat berpandangan negara berjalan ke arah yang benar," tegas Abbas.
Disamping itu, Abbas juga mengkritisi terkait pembahasan amendemen 1945 oleh anggota dewan. Semestinya, menurut dia, pembahasan amendemen 1945 melibatkan juga masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan membuka ruang publik untuk turut berpartisipasi dalam membahas amendemen 1945.
"Sehingga para akademisi, aktivis bisa terlibat dalam pembahasan itu. Sebab kalau tidak dilibatkan maka sebenarnya amendemen 1945 itu hanya sebatas kepentingan partai politik, jadi ini bahaya," tutupnya.