Senin 14 Oct 2019 14:12 WIB

MK Sebut Pemohon Uji Formil UU KPK tak Sabar

UU KPK belum berlaku karena belum diundangkan dan diberi nomor

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Majelis Hakim Wahiduddin Adams (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) menutup sidang perdana uji materi UU KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (30/9).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama Majelis Hakim Wahiduddin Adams (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) menutup sidang perdana uji materi UU KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti objek uji formil yakni Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hasil revisi yang belum berlaku karena belum diundangkan dan diberi nomor. UU KPK hasil revisi hingga saat ini belum diundangkan di lembaran negara oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Jadi permohonannya ini pengujian formil dan materiil, tapi terhadap Undang-Undang nomor berapa masih titik-titik ini ya. Ini tidak sabar menunggu hari esok ini," ujar Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman saat sidang pendahuluan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (14/10).

Ia masih mempertanyakan kelanjutan revisi UU KPK yang sudah disetujui oleh DPR dan pemerintah, dan sudah disahkan DPR tetapi belum ditandatangani Presiden. Sehingga para pemohon perkara mengajukan uji formil terhadap UU KPK tetapi tanpa menyebutkan nomor lembaran negara.

Sementara, Majelis Hakim Wahiduddin Adams mengatakan, sebagaimana diketahui dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-Undang bahwa pembentukan UU membutuhkan tahapan persiapan, perencanaan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Tahapan pengesahan belum dilalui oleh Presiden sehingga belum diundangkan.

Ia menjelaskan, UU akan sah berlaku setelah 30 hari disahkan DPR meski belum ditandatangani Presiden. Kemudian UU tersebut wajib diundangkan. Dalam hal ini UU KPK disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 17 September lalu.

Namun, untuk UU KPK ini, kata Wahiduddin, Presiden belum menandatanganinya dan belum diundangkan dalam lembaran negara. Masa tenggat 30 hari juga belum berlalu. Sehingga, belum ada objek yang bisa diuji.

"Jadi ini masih belum ada yang bisa kita uji, terkait permohonan yang diajukan para pemohon ini," jelas Wahiduddin.

Sementara itu, salah satu pemohon prinsipal Wiwin Taswin menyebutkan alasannya mengajukan gugatan terhadap UU KPK hasil revisi meski belum diundangkan dan memiliki nomor. Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa pihaknya serius menggugat UU KPK yang dinilai tak sesuai prosedur konstitusi

"Justru kecepatan ini bukti kalau kita serius. Ini kan sudah disetuji bersama, sudah dibahas bersama, sehingga ini persoalan waktu saja begitu. Secara konstitusi UU ini sudah terbentuk, gitu saja tinggal pengesahan saja. Meskipun tidak tanda tangan 30 hari pasti berlaku, kecuali nanti keluar Perpu, nanti lain cerita lagi. Toh yang paling penting kita menunjukkan UU bermasalah," tutur Wiwin.

Uji formil ini diajukan 25 advokat yang juga mahasiswa/i program pascasarjana magister ilmu hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah Bekasi, selaku pemohon. Permohonan gugatan tersebut dengan nomor 59/PUU-XVII/2019,

Berdasarkan berkas perkara, pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor ... Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mereka mengajukan uji formil karena menilai UU KPK hasil revisi secara formil tidak memenuhi prosedur dan mekanisme sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Para advokat itu menilai pengambilan keputusan DPR tidak memenuhi syarat kuorum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement