Ahad 13 Oct 2019 06:22 WIB

Sanksi Terhadap Dandim Kendari, Pakar: Ada Asas Dilanggar

Perwira TNI disanksi usai istri unggah postingan terkait kasus penusukan Wiranto.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Irma Zulkifli Nasution Hendari, istri mantan Komandan Kodim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi, menangis usai Upacara Sertijab Komandan Kodim 1417 Kendari di Aula Tamalaki Korem 143 Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (12/10/2019).
Foto: Antara/Jojon
Irma Zulkifli Nasution Hendari, istri mantan Komandan Kodim 1417 Kendari Kolonel Kav Hendi Suhendi, menangis usai Upacara Sertijab Komandan Kodim 1417 Kendari di Aula Tamalaki Korem 143 Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (12/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, kasus pencopotan dua anggota TNI akibat postingan istri mereka bernada nyinyir, harus mengutamakan asas praduga tak bersalah. Menurut dia, seharusnya ada penyelidikan terlebih dahulu sebelum pemberian hukuman disiplin.

"Pada kasus Dandim Kendari ini ada satu asas penyelenggaraan hukum disiplin militer yang menurut saya dilanggar, yaitu asas praduga tak bersalah," ujar Khairul saat dihubungi Republika melalui pesan singkat, Sabtu (12/10) malam.

Baca Juga

Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menghukum Kolonel HS dan Sersan Z, akibat istri mereka mengungggah postingan nyinyir terkait kasus penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto. Keduanya mendapatkan hukuman disiplin pemberhentian dan diganjar sanksi militer berupa penahanan ringan selama 14 hari.

Khairul menuturkan, perdebatan publik soal pencopotan Kolonel HS yang menjabat Dandim Kendari sebagai dampak dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh istrinya bisa dipahami. Sebab, belum ada tindakan penegakan hukum apa pun di samping unggahan yang juga tak menyebutkan Wiranto.

Ia melanjutkan, secara normatif, dipertanyakan sebenarnya apa ada tanggung renteng selain dalam urusan uutang-piutang. Apalagi istri kedua prajurit sebenarnya berstatus sipil dengan segala hak sipil yang melekat, termasuk hak politik dan kewajiban untuk mematuhi segala hukum yang berlaku.

Hendi Suhendi yang baru menjabat sekitar tiga bulan menggantikan Letkol Fajar Lutvi Haris Wijaya diberhentikan dari jabatan karena melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Menurut Khairul, jika dilihat secara normatif, UU 25/2014, Sapta Marga, dan Sumpah Prajurit sebenarnya hanya berlaku bagi militer yaitu anggota TNI.

Hal itu berdasarkan perundang-undangan pasal 1 angka 1 artinya tidak berlaku bagi istri yang notabene bukan anggota militer. Namun sebagai keluarga anggota militer, jika dilihat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, maka ‘taat pada atasan’ bisa diinterpretasikan secara ekstensif termasuk istri yang secara struktural juga merupakan ‘bawahan’ dari pimpinan institusi.

"Misalnya nampak dalam pengurusan pernikahan. Termasuk ditunjukkan dengan adanya upacara penerimaan sebagai warga organisasi istri prajurit, yang berarti istri juga dianggap menjadi bagian dari hubungan atasan-bawahan dalam lingkungan TNI," jelas Khairul.

Ia mengatakan, hal ini menunjukkan secara moril, perilaku suami atau istri anggota TNI memang juga terikat dengan aturan-aturan. Akan tetapi, bukan secara eksplisit tertera dalam UU 25/2014, melainkan atas dasar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit yang bisa dinyatakan mengikat secara moril.

Oleh karena itu, menurut Khairul, kasus pencopotan Dandim Kendari ini sekali lagi menunjukkan bahwa peraturan disiplin militer sarat dengan ketentuan-ketentuan karet, multitafsir, dan sangat mungkin digunakan untuk tidak saja mengelola kepatuhan. Lebih dari itu, dapat digunakan untuk menakut-menakuti dan mengintimidasi prajurit dan keluarganya, serta menganggap keluarga prajurit (sipil sekalipun) adalah subordinat TNI.

Ia menyebutkan, penyelenggaraan hukum disiplin militer dilaksanakan berdasarkan asas. Di antaranya keadilan, pembinaan, persamaan di hadapan hukum, praduga tak bersalah, hierarki, kesatuan komando, kepentingan militer, tanggung jawab, efektif dan efisien, serta manfaat.

Kolonel Kaveleri Hendi Suhendi ikhlas menerima keputusan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa yang memberhentikan dirinya dari jabatan Dandim 1417 Kendari. Hendi Suhendi baru menjabat sebagai Dandim Kendari sekitar tiga bulan.

"Saya prajurit yang setia dan hormat keputusan pimpinan. Saya dan keluarga ikhlas menerima keputusan komandan," kata Hendi Suhendi didampingi istri di Kendari, Sabtu (12/10).

Hendi Suhendi yang pernah bertugas sebagai atase darat pada KBRI di Moskow, Rusia pun siap menjalankan keputusan institusi. "Sekali lagi saya mau katakan bahwa saya prajurit setia dan kesatria yang dididik bertanggungjawab dan patuh pada perintah komando," ujarnya.

Sebelumnya, KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa mengatakan, Kolonel HS dikenakan sanksi berupa pencopotan dari jabatannya sebagai Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) Kendari, dan menambahkan sanksi militer berupa penahanan ringan selama 14 hari. Begitu pula dengan Sersan Dua Z, yang dilepaskan dari segala jabatannya dan mendapatkan penambahan sanksi militer penahanan 14 hari.

"Proses administrasi sudah saya tandatangani tetapi besok akan dilepas oleh Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Hasanuddin di Makassar. Karena masuk ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara," katanya di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10).

Jenderal Andika mengatakan pihaknya menemukan adanya konten yang tidak pantas yang dibuat oleh istri-istri dari anggota TNI tersebut di sosial media. Karena itu, Andika langsung menandatangani surat perintah melepaskan jabatan untuk Kolonel HS dan Sersan Z dengan penambahan sanksi militer berupa penahanan ringan selama 14 hari. Hal itu dilakukan karena anggota tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 25 tahun 2014 yaitu tentang disiplin militer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement