REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan, cap radikal tidak tepat disematkan kepada pelaku penyerangan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto. Apa yang dilakukan pelaku, kata dia, adalah perilaku yang dimiliki seseorang berpaham kekerasan ekstrem.
"Di tengah situasi dan dinamika politik seperti sekarang, pelaku bisa datang dari banyak kemungkinan motif. Lagi-lagi ini menunjukkan cap radikal tidak tepat disematkan pada pelaku serangan macam ini. Itu ekstrem, tidak radikal," ujar Fahmi melalui pesan singkat kepada Republika, Jumat (10/10).
Menurut Fahmi, pelaku bisa saja terkait dengan jaringan terorisme. Tapi, dalam kasus ini motif kebencian personal bisa jadi lebih kuat ketimbang isu-isu teror spesifik. Peran dan pernyataan-pernyataan Wiranto belakangan ini, kata dia, bisa menjadi alasan mengapa mantan Panglima ABRI itu menjadi target potensial.
Fahmi juga menjelaskan, pada 2015 lalu, ia telah mengatakan sasaran teror saat ini cenderung acak, sporadis, dan simultan. Teror dilakukan dalam intensitas yang rendah, tidak lagi mengandalkan peledakan dan penembakan. Segala cara dapat dilakukan, termasuk dengan melakukan penabrakan atau penusukan.
"Namun (serangan intensitas rendah itu) memiliki kemampuan menyampaikan pesan secara kuat dengan memanfaatkan momentum," katanya.
Para pelaku teror pun, kata dia, berkaitan dengan isu-isu setempat. Peran aktor-aktor lokal, atau setidaknya dekat dengan isu-isu domestik, sangat kuat. Pelaku tak harus orang-orang yang secara hirarkis terhubung dengan organisasi terorisme.
"Bahkan bisa saja kelompok simpatisan, kelompok terinspirasi atau cuma sekadar penggemar," tutur dia.
Seperti diketahui, Menkopolhukam Wiranto diserang orang tak dikenal usai menghadiri peresmian Gedung Kuliah di Universitas Mathla'ul Anwar di Pandeglang, Banten, Kamis (10/10). Atas peristiwa ini, Wiranto mengalami luka tusuk pada bagian perut. Saat ini, Wiranto pun mendapat penanganan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.