Kamis 10 Oct 2019 08:18 WIB

Kepala BRG Klaim Sekat Kanal Efektif Cegah Kebakaran Gambut

Sekat kanal yang menjadi langkah untuk membasahi kawasan lahan gambut.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Andi Nur Aminah
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead

REPUBLIKA.CO.ID, DUMAI -- Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead mengklaim upaya pembuatan sekat kanal terutama di kawasan lahan gambut di Riau sangat efektif dalam meminimalisir risiko terjadinya kebakaran. Pemerintah melalui BRG pun terus berupaya memperbanyak pembuatan sekat kanal yang menjadi langkah untuk melakukan pembasahan terhadap kawasan lahan gambut.

“Yang kita lihat di berbagai tempat itu sangat efektif. Tapi memang keefektifitasannya tergantung berapa kita berani menaikan pintu sekatnya, artinya air yang tertampung akan lebih tinggi,” kata Nazir saat meninjau langsung kawasan gambut di Dumai, Riau pada Rabu (9/10).

Baca Juga

Menurut Nazir, keberadaan sekat kanal berfungsi untuk menahan air hujan agar tetap berada di area lahan gambut. Dengan begitu, lahan gambut pun akan lebih lembab sehingga mencegah terjadinya kebakaran terutama saat musim kemarau. Disamping itu, dengan adanya kanal masyarakat pun lebih mudah memperoleh air untuk menyirami tanaman-tanaman tertentu yang dibudidayakan di area gambut. Bahkan, masyarakat pun menggunakan air yang tertampung untuk budidaya ikan sehingga memiliki dampak ekonomi.

Menurut Nazir, untuk pembuatan sekat kanal diperlukan dana sekitar Rp 23 juta per sekat kanal. Sekat kanal sendiri terbuat dari kayu khusus yakni kayu gelam yang dapat bertahan lama.

Dananya berasal dari APBN yang dikirim langsung pemerintah kepada kelompok masyarakat yang mengelola area lahan gambut. Di Riau sendiri, menurut Nazir telah terpasang seribuan lebih kanal di kawasan gambut. Di antaranya pada 2017 sebanyak 309 sekat kanal, 2018 sebanyak 669 sekat kanal, dan tahun ini baru 47 sekat kanal.

“Kanal kalau tidak disekat akan mengeringkan gambut, jadi air yang mestinya tersimpan di tanah gambut  tersedot karena memang lebih rendah kan ada gravitasi kemudian mengalir ke sungai, jadi airnya keluar semua. Maka kalau kemarau berbulan-bulan gambut jadi kering karena radiasi matahari. Lapisan atas tidak bisa dibanjiri, jadi kalau ada orang yang membakar pasti terbakar,” kata Nazir.

Sementara berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang Januari hingga Agustus 2019, luas kawasan hutan dan lahan yang terbakar di seluruh Indonesia mencapai 328.724 hektar. Di tahun ini, kawasan terparah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah provinsi Riau.

Menurut angka sementara BPBD Riau, area terbakar mencapai 50.730 hektar, dengan jumlah titik panas mencapai sekitar 8.168 titik, dengan 72 persen di antaranya terjadi di areal lahan gambut. Nazir pun meminta bantuan kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas) di area lahan gambut agar lebih responsif untuk melakukan pencegahan saat melihat munculnya api di kawasan gambut. “Kalau (Pokmas) rajin patroli, ada api memadamkan, ya padam,” katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement