Rabu 09 Oct 2019 09:17 WIB

PDIP: Jangan Tekan Presiden Terbitkan Perppu KPK

PDIP sendiri melihat perppu adalah sebentuk diktator konstitusi.

Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK Masinton Pasaribu membawa koper saat mendatangi KPK, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK Masinton Pasaribu membawa koper saat mendatangi KPK, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, meminta berbagai pihak tidak menekan Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, ada sejumlah masukan dalam menyikapi keberadaan UU KPK hasil revisi, di antaranya uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan legislative review di DPR.

"Posisi PDIP itu memberikan masukan bahwa jangan sampai siapa pun menekan-nekan Presiden soal perppu ini. Tidak boleh ditekan-tekan," ujar Masinton dalam sebuah diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (8/10).

PDIP sendiri, kata dia, melihat perppu adalah sebentuk diktator konstitusi. Oleh karena itu, Masinton menyebut berbahaya jika ada yang mendesak Presiden untuk segera mengeluarkan perppu. "Saya bicarakan Presiden sebagai eksekutif, sehingga tidak boleh didesak untuk terbitkan perppu. Sebab, kalau ini nanti (terjadi), maka perppu adalah bentuk dari diktator konstitusi," kata dia.

Desakan mengeluarkan perppu dilakukan berbagai elemen masyarakat, mulai dari pegiat antikorupsi, mahasiswa, hingga masyarakat sipil. Terakhir, hasil survei Lingkar Survei Indonesia (LSI) menyatakan, mayoritas masyarakat setuju Jokowi mengeluarkan perppu. Jokowi sendiri, pada Kamis (26/9), mengatakan akan mempertimbangkan perppu KPK.

Berbeda dengan Masinton, aktivis antikorupsi Emerson Yuntho mengatakan, Presiden Jokowi sudah memiliki alasan mengeluarkan perppu KPK. Sebab, perppu merupakan hak prerogatif dengan penilaian subjektif Presiden.

"Jika misalnya Presiden menganggap bahwa soal pemberantasan korupsi merupakan hal serius kemudian terpangkas dengan adanya revisi UU KPK," ujar Emerson dalam forum diskusi yang sama dengan Masinton. Alasan kedua, ada tuntutan mahasiswa dan sejumlah pihak yang meminta presiden untuk menerbitkan perppu.

Masinton kemudian mempertanyakan banyak pihak yang mendesak perppu, padahal UU KPK hasil revisi belum diundangkan dan belum memiliki nomor. "Setelah pengesahan DPR kan ada waktu 30 hari (sebelum otomatis berlaku). Sebelum itu saja sudah ada yang mendesak-desak ingin ada perppu. Diundangkan saja belum, mengapa sangat ngebet ingin ada perppu?" kata Masinton.

Selanjutnya, dia menyoal pertimbangan penerbitan perppu yang berkaitan dengan alasan kondisi kegentingan yang memaksa. Masinton menyebut perppu bisa diterbitkan jika ada alasan yuridis dan kekosongan hukum. Kedua, jika ada kekosongan hukum kemudian proses pembahasan aturan perundangan antara pemerintah dan DPR membutuhkan waktu lama.

"Jadi, walau ada hak prerogatif Presiden, tetap harus ada pertimbangan yuridis. Nah, apakah saat ini kondisinya genting dan perlu? Belum," kata dia.

photo
Presiden Jokowi mengundang tokoh nasional untuk membahas kondisi kebangsaan di Istana Merdeka, Kamis (26/9).

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Presiden Jokowi mesti cepat mengambil keputusan untuk menerbitkan Perppu KPK. ICW memandang ada sejumlah hal yang dikhawatirkan akan terjadi jika perppu untuk membatalkan UU Nomor 22 tahun 2002 hasil revisi tidak kunjung terbit.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, masa depan pemberantasan korupsi terancam. Sebab, pembahasan serta pengesahan UU KPK kental dengan nuansa pelemahan KPK.

"Namun, di saat yang sama, Presiden masih belum juga mengeluarkan perppu terkait pembatalan revisi UU KPK. Seakan Presiden tidak mendengarkan suara penolakan revisi UU KPK yang sangat masif didengungkan oleh berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia," ujar Kurnia dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, kemarin.

Menanggapi desakan penerbitan perppu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan, belum ada percakapan terbaru dengan Presiden Jokowi. Namun, JK justru berpendapat sebaliknya, yaitu perppu adalah jalan terakhir yang ditempuh pemerintah.

"Itu (sudah) didiskusikan, didebatkan per hari. Cukup kan dengan debat-debat per hari itu. Tapi, saya kira sangat penting. Itu jalan terakhir lah perppu itu," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.

JK menilai masih ada langkah konstitusional yang bisa ditempuh jika tidak setuju dengan UU KPK, yakni mengajukan uji materi ke MK. Menurut JK, pemerintah saat ini masih menunggu adanya pengajuan uji materi tersebut.

"Masih ada jalan yang konstitusional, yaitu judicial review di MK, itu dulu, pemerintah nunggu uji materi? Tentu kan sekarang sudah ada yang masukkan walaupun UU-nya belum berlaku," ujar JK.

Pada Senin (7/10), pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva meminta Presiden Jokowi mempertimbangkan dengan baik sebelum memutuskan mengeluarkan perppu. Meski begitu, Presiden tidak bisa digugat jika mengeluarkan perppu.

"Harusnya dipertimbangkan dengan baik dan dalam-dalam. Dari segi keadaan gawat darurat, apakah benar gawat darurat atau tidak? Itu yang perlu diperhatikan," ujar Hamdan. n dian erika nugraheny/fauziah mursid/haura hafizhah ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement