Rabu 09 Oct 2019 08:37 WIB

Ini Kampanye Dradjad ke Dunia Soal Karhutla

Rakyat Indonesia aktif berpartisipasi mengurangi karhutla dan perubahan iklim

Pengendara melintas di jalan protokol Kota Jambi yang diselimuti kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Jambi, Rabu (2/10/2019) dini hari.
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Pengendara melintas di jalan protokol Kota Jambi yang diselimuti kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Jambi, Rabu (2/10/2019) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  The Indonesian Forestry Certification Cooperation.  (IFCC) kampanyekan bukti peran aktif masyarakat Indonesia berpartisipasi mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta perubahan iklim. Tak semua hutan tanaman industri (HTI) nakal.

“Saya bermaksud menunjukkan ke dunia internasional kalau rakyat Indonesia aktif berpartisipasi mengurangi karhutla dan perubahan iklim, dengan cara yang business-friendly,” kata Ketua Umum IFCC Dradjad Wibowo kepada Republika.co.id, Rabu (9/10).

Hal yang dilakukan IFCC adalah dengan menyebarkan sebuah video singkat tentang HTI yang dikelola secara lestari. "Versi bahasa Inggris dari video ini akan saya tampilkan di berbagai forum internasional, seperti forum sertifikasi kehutanan se-dunia di Jerman November nanti,” kata Dradjad.

Tonton:  Video kampanye Kebakaran Hutan IFFC

Disebutkan Dradjad, selama ini HTI sering menjadi salah satu tertuduh penyebab karhutla, selain perkebunan sawit dan perladangan rakyat. Dradjad mengakui memang ada HTI yang nakal. Tapi banyak sekali HTI yang dikelola dengan baik, lengkap dengan sistem pencegahan karhutla.

"Kita punya kewajiban moral untuk mendorong HTI dikelola secara lestari, termasuk ikut mencegah karhutla. Itu yang antarai lain dilakukan oleh IFCC,” papar dia.

Dradjad mengaku mendirikan IFCC bersama beberapa pemangku kepentingan kehutanan pada 2011, dan menjadi ketua umumnya hingga saat ini. IFCC ini bergabung dalam PEFC (the Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berbasis di Geneva, yang merupakan skema sertifikasi hutan terbesar di dunia.

Ekonom senior ini menyebut, pada 2019 ini, dari 67 perusahaan yg bersertifikat IFCC/PEFC, hanya 2 yang terkena hotspot. Itupun terjadi di areal yg diduduki oleh pihak lain. Jika perusahaan gagal mengatasi karhutla di arealnya, sertifikatnya di-suspensi.

Padahal, lanjut dia, pembeli luar negeri tidak mau membeli produk mereka tanpa sertifikat tersebut. Sertifikat ini menjadi alat pasar utk kelestarian, karhutla, perubahan iklim, dan pemberdayaan masyarakat.

"Memang kita belum berhasil mencegah karhutla. Tapi setidaknya masyarakat dunia perlu tahu bahwa rakyat Indonesia ikut berpartisipasi secara positif mengatasinya,” papar Dradjad.

Harus diakui, sistem penanganan karhutla kita belum berhasil mencegah bencana asap. "Hanya hujan kiriman Allah SWT yang menghilangkan bencana asap tahun 2015 dan 2019. Hanya La Nina dari Allah SWT yang membuat bencana asap tidak terjadi tahun 2016-2018,” paparnya

Dradjad berharap negara berinvestasi lebih besar untuk membangun sistem pencegahan dan penanganan karhutla. Indonesia perlu pesawat pengebom air dan peralatan yang lebih banyak. Juga perlu membangun reservoir air sebanyak mungkin di areal berisiko tinggi. Dradjad juga menyebut perlu sumber daya manusia yang sangat terlatih menangani karhutla.

"Kita perlu secara bertahap mengubah teknik pengolahan tanah dari membakar ke teknik lain,” ungkap Dradjad. Hal lain yang krusial adalah partisipasi masyarakat. Ini harus digarap terus menerus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement