Rabu 09 Oct 2019 05:25 WIB

Tambal Defisit BPJS, Wamenkeu: No Premi, No Njaluk Service

Pemerintah tengah merancang instruksi pembatasan layanan bagi penunggak BPJS.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
Wamenkeu Mardiasmo menjadi narasumber dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (7/10/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Wamenkeu Mardiasmo menjadi narasumber dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (7/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah makin jorjoran mencari cara untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Teranyar, pemerintah sedang merancang Instruksi Presiden (Inpres) yang isinya berupa pembatasan bagi penunggak iuran kepesertaan BPJS Kesehatan untuk mengakses layanan publik dari pemerintah.

Cara ini diyakini mampu memperbaiki tingkat kepatuhan iuran oleh peserta BPJS Kesehatan, sebelum pada akhirnya ada kenaikan nominal iuran per awal 2020. Penerapan Inpres mengenai pembatasan akses layanan publik akan menyasar segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Kelompok ini adalah kelompok masyarakat yang iuran BPJS-nya tidak dibayarkan secara rutin oleh perusahaan.

"Ada efek jera lah. Kalau dia dilayani, terus dia nggak bayar premi, waktu dia hidupkan lagi preminya, jangan langsung dilayani, ada time lag supaya ada punishment, no premi no njaluk service (minta servis). Kalau nggak begitu, gampang saja ndak bayar," kata Mardiasmo, di Istana Negara, Selasa (8/10).

Jenis-jenis pelayanan publik yang akan dibatasi, ujar Mardiasmo, nantinya akan bergantung pada ringan-beratnya 'kesalahan' yang dibuat oleh penunggak iuran. Mardiasmo menyampaikan, Kemenkeu akan melakukan pemetaan profil peserta BPJS Kesehatan yang dikoneksikan dengan BPJS Ketenagakerjaan hingga Ditjen Pajak.

"Kalau profile mereka kaya raya, belum bayar pajak, namun nikmati asuransi BPJS kan ndak pas," kata Mardiasmo.

Inpres mengenai pembatasan akses pelayanan terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan ini akan digodok oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Targetnya, Mardiasmo menambahkan, Inpres mengenai pembatasan akses layanan publik bisa rampung sebelum akhir tahun 2019.

Selain pembatasan akses layanan publik, ada sejumlah jurus lain yang disiapkan pemerintah. Salah satunya adalah menghubungkan data kepesertaan antara BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Kesehatan. Mardiasmo menyampaikan, saat ini banyak ditemui kasus peserta BPJS Ketenagakerjaan memasukkan angka gajinya secara penuh demi tunjangan hari tua miliknya dibayarkan utuh. Namun di sisi lain, peserta tersebut tidak mendaftarkan pendapatan secara penuh agar preminya turun atau malah menunggak lantaran alasan ekonomi.

"Nah maka kami akan panggil dua-duanya, BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan. Harus ada koordinasi supaya pesertanya, iurannya, juga yang benar. Jangan sampai di sini full, satunya dikurangi. Itu contohnya," kata Mardiasmo.

Selain itu, pemerintah terus melakukan upaya pembersihan data terhadap peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang ternyata tidak seharusnya menerima bantuan. Langkah ini melibatkan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial.

Pemerintah pusat, ujar Mardiasmo, juga meminta Pemerintah Daerah secara seksama memperbaiki fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti Puskesmas. Pemda, khususnya daerah yang menerima pemasukan dari pajak rokok dan cukai hasil tembakau, dianggap memiliki kemampuan lebih baik untuk memperbaiki fasilitas umum kesehatan.

"Supaya masyarakat kalau kena (sakit) bukan masuk rumah sakit langsung, namun ada FKTP dulu yang pelayanan dasar dulu," kata Mardiasmo.

Perbaikan data PBI, ujar Mardiasmo, juga dilakukan secara rinci 'by name by address'. Maksudnya, bila ditemukan ada peserta yang terbukti hanya memanfaatkan pembayaran BPJS Kesehatan ketika sakit dan menunggak iuran setelah sembuh, maka BPJS Kesehatan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan tegas.

"Kalau memang endak ya kita potong. Kita harus tegas. Diptimalkan semuanya, termasuk kerja sama dengan asuransi swasta dan BUMN," katanya.

Seluruh kebijakan ini, ujar Mardiasmo, berpotensi menekan defisit BPJS Kesehatan hingga Rp 5 triliun dari total potensi defisit yang menyentuh Rp 33 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement