REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PDIP, Masinton Pasaribu, mengatakan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) KPK bisa jadi bentuk diktator konstitusi. PDIP meminta semua pihak tidak mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU KPK hasil revisi.
Menurut Masinton, ada sejumlah masukan dalam menyikapi keberadaan UU KPK hasil revisi. Beberapa di antaranya yakni uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (KPK) dan legislatif review di DPR.
"Posisi PDIP itu memberikan masukan, bahwa jangan sampai siapapun menekan-nekan Presiden soal perppu ini. Tidak boleh ditekan-tekan," ujar Masinton dalam diskusi di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (8/10).
Masinton menyebut, berbahaya jika ada yang mendesak untuk segera mengeluarkan perppu. "Pasalnya, bahaya kalau soal ketatanegaraan atau konstitusi, kita letakkan di bawah tekanan," kata dia.
"Saya bicarakan Presiden sebagai eksekutif, sehingga tidak boleh didesak untuk terbitkan perppu. Sebab kalau ini nanti (terjadi) maka perppu adalah bentuk dari diktator konstitusi," ujar dia.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Presiden Jokowi mesti cepat mengambil keputusan untuk menerbitkan perppu. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan masa depan pemberantasan korupsi terancam karena pembahasan serta pengesahan UU KPK yang kental dengan nuansa pelemahan KPK.
"Namun di saat yang sama, Presiden masih belum juga mengeluarkan Perppu terkait pembatalan revisi UU KPK. Seakan Presiden tidak mendengarkan suara penolakan revisi UU KPK yang sangat massif didengungkan oleh berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia," ujar Kurnia dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (8/10).