Selasa 08 Oct 2019 05:03 WIB

Kepekaan Bernegara Demokrasi dengan Perppu

Butuh kepekaan bernegara dengan adanya Perpu

Publik Dukung Presiden Terbitkan Perppu KPK

Begitukah pemerintahan demokratis dan hukum dikelola Pak Presiden? Pasti bukan. Malah tidak. Fenomena demo sebagai mesin penyedia hal-ihwal kegentingan yang memaksa, justru bisa memukul mundur, bahkan menenggelamkan demokrasi. Memang suara Perpu KPK kali ini datang dari mahasiswa, dan beberapa kelompok di luar kekuasaan.

Tetapi bagaimana bila, misalnya suatu saat Presiden memiliki gagasan tertentu, tetapi pengoperasianya memerlukan legalisasi hukum, dan hukum yang diperlukan itu belum tersedia? Bagaimana bila, dengan cara yang rumit demo dipanggil untuk menyediakan hal ihwal kegentingan yang memaksa? Padahal terdapat target tersembunyi dibalik gagasan itu. Misalnya memperbesar, dalam arti menambah wewenang Presiden? Bahaya, tentu saja.

Pendukung demokrasi, bila mungkin, dapat menyusuri lorong-lorong sejarah politik yang menyediakan begitu banyak fakta perubahan pemerintahan demokratis ke fasis. Adolf Hitler memasuki kekuasaan, yang kelak menghebohkan dunia, tidak melalui kudeta. Tidak. Hitler memasuki kekuasaan melalui pemilu. Kepopulerannya membawa dirinya memasuki kekuasaan.

Tokoh-tokoh politik melihat dirinya sebagai alternatif pemecahan situasi pelik. Diam-diam tokoh-tokoh yang telah frustrasi terhadap  keadaan faktual, membangun keyakinan bahwa situasi rumit itu hanya dapat dipecahkan dengan memunculkan seseorang yang memiliki popularitas tinggi. Hitler masuk kategori itu.

Diam-diam mereka, para tokoh ini berharap dalam dua tiga bulan Hitler bisa dikendalikan, dibawa ke sudut yang mereka rancang. Nyatanya tidak bisa. Hitler tidak bisa dikendalikan, dituntun ke rencana mereka. Apa yang terjadi sesudahnya? Jerman terjerembab ke dalam fasisme. Demokrasi hancur.

Demokrasi sama sekali bukan soal mayoritas. Demokrasi itu soal keadilan, soal membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan hukum yang beradab, yang  memiliki daya dorong membuat kekuasaan mengerti harkat dan martabat manusia. Tidak lebih. Demokrasi bukan soal suara nyaring, yang memekik telinga. Bukan. Bahaya betul bila demokrasi dipertalikan hanya pada suara nyaring.

Venezuela jatuh ke krisis berkepanjangan yang semakin sulit menemukan jalan keluarnya hingga saat ini, karena mempertalikan demokrasi hanya pada suara nyaring. Chaves dengan Chavistanya menelurkan referendum mengubah konstitusi. Berhasil. Konstitusi diubah. Chaves dengan konstitusi barunya itu memiliki kesempatan maju lagi sebagai calon presiden.

Tetapi referendum itu teridentifikasi berjarak sangat jauh dari jujur. Seperti biasa hasilnya tetap diterima. Demokrasi mengharuskannya. Konstitusi diubah. Chaves dapat mencalonkan diri lagi. Apa sesudahnya? Venezuela jatuh semakin dalam ke berbagai krisis hingga saat ini. Nicolas Maduro, penerusnya pun, masih terlilit dengan masalah, terutama ekonomi yang diwariskan Chaves.

Apa pointnya? Sarana konstitusi dan demokrasi, selalu mungkin dimanipulasi. Apalagi “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai dasar legal penerbitan Perpu sangat elastis. Demokrasi dan hukum bukan tanpa cacat, walau cacatnya tidak mudah dikenali. Tetapi bukan tak bisa dikenali. Membangun negara berdasarkan suara nyaring ditengah masyarakat, dalam kasus-kasus di atas, jelas mengandung bahaya. Mayoritas berdasarkan suara-suara terekspos, tak selamanya baik. Venezuela tak sendirian dalam kasus ini.

Chilie pada masa Alende misalnya, juga mengalami hal yang sama. Pemerintahan sosialisnya, dengan demokrasi relatifnya menemui kebangkrutan karena didemo sepanjang hari. Alende dituduh menyemai dan menyebarkan komunisme. Anak-anak yang lahir, menurut propaganda oposisi, akan dijauhkan dari agama. Ibu-ibu termakan propaganda itu.

Sebagian rakyat lalu menandai pemerintahan Alende sebagai monster. Alende tidak boleh dibiarkan terus memerintah. Pemerintahannya harus diakhiri. Demonstrasi tak berkesudahan dipanggil memasuki arena politik menantang Alende. Demonstrasi baru berakhir setelah Alende tertembak di Istana kepresidenan. Jenderal Pinochet, seorang militer, kabarnya mendapat lampu hijau dari Amerika, entah menjadi komponen utama dalam oposisi itu atau tidak, memasuki kekuasaan. Pinoche diangkat menjadi presiden menggantikan Alende. Demokrasi bangkrut, berakhir pahit.

DPR, saya cukup yakin tahu betul bagaimana suara-suara nyaring menggema dipertengahan tahun 1959. Hasilnya Dekrit. Suara-suara nyaring juga menggema pada tahun 1966. Hasilnya relatif sama. Indonesia terkapar didasar demokrasi. Itukah yang diimpikan bangsa ini? DPR tidak usah memanggil pemakzulan, tetapi perlu membunyikan alarm lain, tentu politis, agar Perpu tidak tersaji sebagai hal biasa. DPR harus mengasah kepekaannya.

DPR harus dapat memberi kepastian bahwa Presiden tidak mengandalkan wewenang istimewasnya itu dalam mengelola negara. Toh UUD 1945 telah membekali Presiden dalam urusan mengatur negara dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Instruksi Presiden.

Betul wewenang ini diperlukan. Tetapi sesuai sifatnya, wewenang ini harus digunakan dan dikerangkakan pada keadaan yang sungguh-sungguh memerlukannya. Kedaan yang sungguh-sungguh memerlukan dapat diukur berdasarkan praktik bernegara yang masuk akal. Dalam hal seperti itulah Presiden perlu memecahkannya dengan memasuki gudang wewenang istimewanya, menerbitkan Perppu.

Jakarta, 7 Oktober 2019

   

     

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement