Senin 07 Oct 2019 13:40 WIB

40 Persen Warga di Ibu Kota Banten Belum Punya Kakus

Warga Serang BAB di sungai atau saluran irigasi.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Dwi Murdaningsih
 Warga Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat,  belum memiliki jamban sehat. Terdapat satu kamar mandi untuk enam kepala  keluarga, dengan saluran pembuangan langsung menuju ke sungai.
Foto: Republika/Abdurrahman Rabbani
Warga Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, belum memiliki jamban sehat. Terdapat satu kamar mandi untuk enam kepala keluarga, dengan saluran pembuangan langsung menuju ke sungai.

REPUBLIKA.CO.ID, SERANG--Nawawi (46) warga asli Kampung Lorog, Kelurahan Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang mengatakan lokasi tempat dia tinggal mayoritas penduduknya belum mempunyai Kakus untuk buang air besar. Katanya, ada sekitar 125 Kepala Keluarga (KK) di Lorog, hampir semuanya saat ini masih bergantung pada air sungai dan air irigasi untuk mandi dan buang air mereka.

Pada musim kemarau seperti sekarang, air sungai dan irigasi mengering sehingga kegiatan Buang Air Besar (BAB) dilakukan di sawah yang ada di dekat kampung. Bau menyengat fases di jamban-jamban buatan yang berada di sawah akan mudah didapati di sekitar kampung.

Baca Juga

"Ada satu-dua mah orang yang punya temlat buang air besar, tapi hampir semua di sini ya kalau mau buang hajat ke sawah, ke kali, ke irigasi. Ini jadi kebiasaan orang sini," jelas Kepala RT 10 RW 4 Kampung Lorog, Nawawi, Jumat (4/10).

Nawawi menyebut bahwa hampir semua warga bahkan tidak memiliki kamar untuk Mandi Cuci Kakus (MCK). Jikapun ada hanya difungsikan untuk mencuci piring atau alat masak saja yang tergolong MCK semi permanen di luar rumah menggunakan terpal atau triplek saja.

Kondisi serupa dikatakan Tarmizi (57) yang tinggal di Kampung yang sama, menurutnya kebiasaan buang air besar di sembarang tempat telah menjadi semacam tradisi bagi warga Kampung Lorog. Meski sadar merupakan kebiasaan yang bisa mengganggu kesehatan, dirinya mengatakan tradisi ini juga disebabkan oleh kondisi air sumur di daerahnya yang payau. Sumber air tanah yang payau inilah yang disebutnya menjadi alasan warga lebih memilih lokasi sawah hingga sungai untuk buang air.

"Biasanya cuma dipakai cuci piring, atau cebok kalau pas musim kering begini. Kan sungai sama irigasi airnya nggak ada, jadi buangnya di sawah ceboknya di rumah. Karena kalau dipakai buat mandi atau ke badan itu air sumurnya itu kerasa lengket di badan. Nggak enak rasanya," ucap dia.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Serang, M. Iqbal mengatakan saat ini memang baru 60 persen warga Kota Serang yang sudah menggunakan kakus. Sementara 40 persen lainnya masih melakukan BAB di sungai atau lahan terbuka yang mayoritas ada di Kecamatan Kasemen.

"Saat ini memang baru 60 persen yang sudah menggunakan kakus untuk kebutuhan mereka di Kota Serang. Kebanyakan yang tidak punya Kakus itu terpusat paling banyak di Kasemen. Karena karakteristik air di sana kan payau, untuk keperluan minum juga mereka menggunakan air isi ulang, mandi juga masih banyak yang ke sungai," ujar dia.

Atas masalah ini Dinkes Kota Serang telah membuat program Pemicuan yang merupakan program dimana warga melakukan iuran bersama untuk membuat kakus. " Ada program pemicuan, itu semacam arisan yang bayarannya Rp 1000 yang digunakan untuk membuat kakus," katanya.

Terkait evaluasi program tersebut Iqbal belum bisa menyebut jumlah kakus yang sudah dibuat dan hanya mengatakan saat ini program tersebut sedang terus berjalan. "Kita harap masyarakat punya kesadaran tentang kesehatan, secara bertahap mereka paham akan pentingnya Kakus untuk kesehatan dengan sosialisasi yang kami berikan secara berkala," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement