Senin 07 Oct 2019 10:44 WIB

Edukasi Soal Limbah Makanan Dianggap Perlu Menyasar Pelajar

Pelajar dapat berpartisipasi mengurangi limbah makanan.

Makanan di kantin atau kafetaria.
Foto: Pixnio
Makanan di kantin atau kafetaria.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat perlu mendapatkan edukasi lebih lanjut akan dampak limbah organik terhadap isu perubahan iklim yang akan berdampak pada kehidupan ke depannya. Pendiri Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) Satya Hangga Yudha Widya Putra mengatakan, edukasi akan limbah makanan perlu diperdalam di tingkat SD, SMP, dan SMA karena ini hal yang cukup sederhana.

"Sebenarnya isu ini sudah disentuh oleh pemerintah dan sekolah tapi tidak terlalu dalam," kata Hangga ketika ditemui dalam diskusi perihal pemborosan makanan di Jakarta Selatan pada pekan lalu.

Upaya pemerintah, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berwenang akan masalah limbah, menurut Hangga, sudah cukup bagus sampai sejauh ini. Namun, diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang limbah, baik organik dan anorganik, serta dampaknya terhadap lingkungan hidup dan perubahan iklim yang menjadi perhatian banyak negara saat ini.

"Kurangnya edukasi mendalam akan limbah mungkin menjadi salah satu alasan masih banyak orang belum mengetahui dampaknya akan perubahan iklim," ujar Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials itu.

Padahal, menurut Hangga, gas metana yang dihasilkan oleh sisa makanan yang bercampur di tempat pembuangan akhir sangat berdampak terhadap pemanasan global yang ikut menyumbang perubahan iklim. Ia mencermati, di Indonesia, kesadaran akan limbah organik berpengaruh terhadap perubahan iklim masih belum terlalu besar.

Hangga berpendapat, Indonesia seharusnya sudah mulai mengambil langkah nyata untuk membuat masyarakat menghentikan kebiasaan pemborosan pangan. Mengutip data badan pangan dan pertanian FAO 2016-2017, ia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara kedua yang paling banyak membuang makanan, sekitar 300 kg per tahun.

"Pemanasan global disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh berbagai sektor, tapi karena di Indonesia kenaikan itu disebabkan oleh sektor kehutanan, energi, dan industri, maka lebih banyak fokus di bidang tersebut dibanding limbah," ujarnya.

Indonesia ikut meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015 yang menegaskan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi demi menahan laju peningkatan temperatur global dan membatasi dampak perubahan iklim secara keseluruhan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement