Sabtu 05 Oct 2019 14:26 WIB

Bisakah Presiden Dipecat karena Perppu? Pakar: Tidak Bisa

Syarat atau ketentuan pemakzulan sudah diatur jelas dalam UUD 1945.

Anggota Wadah Pegawai KPK membawa bendera kuning saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/WAHYU PUTRO
Anggota Wadah Pegawai KPK membawa bendera kuning saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Juanda mengatakan tidak ada dasar untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden jika mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Ia mengaku tak tahu alasan apa dari para pembuat isu tersebut. 

"Saya tidak tahu apa alasan para pihak yang menyimpulkan jika Perppu ditetapkan ketika Revisi UU KPK belum diundangkan, maka Presiden dapat dimakzulkan. Secara hukum tata negara belum saya temukan dasar hukum dan logika seperti itu," kata Juanda, dihubungi di Jakarta, Sabtu.

Baca Juga

Juanda mengatakan pemakzulan Presiden dalam sistem konstitusi Indonesia dilakukan karena Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau dianggap tidak memenuhi syarat. Hal tersebut tercantum dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945.

"Tidak ada satu kata dalam pasal itu yang menyiratkan bahwa menetapkan Perppu sebelum UU diundangkan maka Presiden bisa dimakzulkan," ujar dia.

Dia menekankan Perppu KPK dikeluarkan tidak tergantung pada sudah atau belum diundangkannya sebuah revisi UU KPK. Namun pada ada atau tidaknya kegentingan memaksa atas penilaian subyektif Presiden.

"Jadi aneh juga cara berpikir hukum para pihak yang kurang paham tentang kriteria atau syarat, substansi dan alasan Perppu itu dikeluarkan, tanpa didasarkan pada prinsip konstitusionalitas yang berlaku," kata dia.

Senada dengan Juanda, peneliti bidang hukum The Indonesian Institute Aulia Y Guzasiah mengatakan potensi pemakzulan terhadap Presiden jika mengeluarkan Perpu KPK sebelum revisi UU KPK diundangkan, sama sekali tidak ada.

Aulia menegaskan dasar atau alasan pemakzulan Presiden hanya seperti tercantum dalam pasal 7A UUD 1945. "Entah apa yang melandasi berbagai argumen pemakzulan yang sebagaimana berseliweran saat ini. Penerbitan Perpu atas UU KPK, jelas tidak memenuhi unsur-unsur pemakzulan tersebut," tegas Aulia.

Terlebih, kata dia, dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juga telah dijelaskan kewajiban MK memberikan keputusan atas pendapat DPR RI, bahwa Presiden memenuhi syarat untuk dimakzulkan seperti tercantum dalam pasal 7A UUD 1945.

"Kalau penerbitan Perpu KPK ingin dikaitkan dengan pembacaan sekilas terhadap unsur-unsur yang paling tidak mendekati, seperti pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden, saya kira juga masih jauh," kata Aulia.

Sebab, kata dia, pengkhianatan terhadap negara sebagaimana dimaksud, berkenaan dengan tindak pidana terhadap keamanan negara atau tindak pidana berat lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun lebih.

Sementara perbuatan tercela berkenaan dengan perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden berkenaan dengan syarat Pasal 6 UUD yang terkait dengan syarat menjadi calon Presiden.

Lebih jauh dia menegaskan di tengah fakta masifnya penolakan masyarakat terhadap UU KPK yang sudah terbuka didepan mata, maka penerbitan Perpu terhadap UU KPK tidak dapat dikualifikasikan sama sekali ke dalam unsur-unsur yang memenuhi syarat pemakzulan.

"Sebaliknya, justru itulah yang seharusnya dilakukan demi menyelamatkan 'negara'," kata dia.

Sebelumnya Ketua Nasdem Surya Paloh sempat mengingatkan soal ancaman pemakzulan jika presiden mengeluarkan Perppu ketika revisi UU KPK masih diproses gugat di MK. Paloh meminta semua pihak menunggu hasil keputusan MK. 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement