REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dandim 0734/Yogyakarta, Kolonel Arh Zaenudin menilai, humanisme merupakan kekuatan penting TNI. Terlebih, sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia membuktikan kemanunggalan TNI dan rakyat menjadi capaian merebut maupun mempertahankan kemerdekaan.
Pada sidang BPUPKI Juni 1945, Muhammad Yamin menyampaikan gagasannya tentang pertahanan Indonesia yang saat itu belum memiliki konsep. Yamin berucap jika tanah tumpah Indonesia yang kita ingini harus menjadi daerah negara republik Indonesia yang kita putuskan.
Kita ambil seluruh tanah Indonesia menjadi daerah Indonesia dan tidak memberikan sejengkal kekuasaan Republik Indonesia yang kita ingini. Pidato Yamin dalam BPUPKI merupakan gagasan penting dalam meletakkan konsep pertahanan negara yang melindungi segenap tumpah darahnya.
BPUPKI yang kemudian digantikan oleh PPKI dalam merumuskan proklamasi dan konstitusi negara menyatakan sistem pertahanan yang dianut Indonesia adalah pertahanan rakyat semesta (sishanrata). Konsep ini dimuat dalam alenia keempat pembukaan dan Pasal 30 UUD 1945.
"Sishanrata sudah mengiringi berbagai operasi militer yang tentunya berhasil seiring dukungan dari rakyat. Pertempuran Ambarawa pada Oktober 1945 menjadi bukti pertama keberhasilan Sishanrata," kata Zaenudin, Jumat (4/10).
Saat itu, Kolonel Sudirman menggunakan strategi 'Supit Urang' sebagai strategi tempur modern pertama yang berhasil mengalahkan sekutu. Sosok yang kemudian menjadi Panglima Besar Jenderal Sudirman ini bekerja sama dengan rakyat yang memahami seluk-beluk Ambarawa.
Kemenangan diraih pasukan TKR bersama rakyat. Kemanunggalan TNI dan rakyat terikat erat karena satu tekad dan tujuan, mempertahankan negara Indonesia yang berdaulat adil dan makmur. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI turut menyatakan jati diri TNI.
"Tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional. Jati diri tersebut menegaskan sikap TNI yang konsisten menjalankan tugas pokoknya untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa Indonesia secara profesional tanpa membeda-bedakan suku agama ras maupun golongan," ujar Zaenudin.
Jati diri TNI jadi azas bangsa yang dibutuhkan. Termasuk, saat bangsa Indonesia diuji isu disintegrasi sosial baik dari peristiwa di Papua maupun gelombang protes di daerah-daerah. Disinilah peran TNI dalam meredam eskalasi agar tidak meluas, mengakar dan merusak persatuan.
Begitupun dengan disrupsi teknologi yang berpotensi menambah ancaman nonkonvensional seperti kejahatan siber, radikalisme digital, sindikat narkoba internasional, terorisme serta pergeseran budaya. Segala potensi ancaman tersebut merupakan tantangan.
Artinya, perlu disikapi serius tanpa hilangkan konsep kemanunggalan bersama rakyat. Harus diakui pada saat bergulirnya reformasi, TNI sempat tersekat dan berjarak cukup jauh dengan rakyat, namun reformasi internal yang terus dilakukan membuat TNI lebih profesional.
Bahkan, pada 2018, durvei LSI menobatkan TNI sebagai institusi paling dipercaya rakyat dengan angka tertinggi 90,4 persen, melebihi KPK sebesar 89 persen. Zaenudin menekankan, pendekatan persuasif terus dilakukan untuk merawat kekuatan TNI.
Sebesar apapun dinamika sosial, TNI akan mampu adaptif dengan segala kemampuannya. Saat ini, gelombang milenial mewajibkan prajurit TNI harus adaptif agar mampu mengimbangi keinginan era milenialisme, yang salah satunya dengan pendekatan humanis.
Humanisme dalam TNI tak lantas menyurutkan kemampuan menguasai taktik dan teknik pertempuran. Kemampuan ini langkah visioner TNI menyatukan taktik militer dengan pendekatan-pendekatan kemanusiaan. Perpaduan itu akan menjadi kekuatan terpendam TNI.
"Sekaligus, membawa TNI bertahta di hati rakyat," kata Zaenudin.
Tapi, ia menegaskan, bertahta di hati rakyat bukan berarti TNI jadi penguasa rakyat. Makna bertahta merupakan alegori dalam struktur majas bahasa, menggambarkan perasaan yang dekat antara subyek satu dengan subyek kedua.
Tahta dalam perspektif alegori merupakan kesetiaan TNI yang melekat di hati rakyat. Makna ini menggambarkan adanya hubungan saling percaya dan saling terikat karena hakikatnya TNI memang benar-benar hidup di hati rakyat.
Membangun tahta di hati rakyat melalui prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Prinsip ini mengandung unsur humanisme yang dijabarkan melalui pendekatan budaya, dapat berupa pendekatan bahasa, pendekatan etika, maupun pendekatan langsung.
"Humanisme dalam konsep Sishanrata akan membentuk pertahanan yang kuat, partisipatif dan kolaboratif. Pada akhirnya, pendekatan humanisme merupakan langkah strategis bagi TNI untuk membangun tahta di hati rakyat," ujar Zaenudin.