Jumat 04 Oct 2019 15:01 WIB

Komposisi Pimpinan Parlemen Dinilai tak Cerminkan Perubahan

Masyarakat harus kritis dan waspada dalam mengawal perjalanan kepemimpinan legislatif

Suasana pelantikan pimpinan DPR periode 2019-2024 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/10).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Suasana pelantikan pimpinan DPR periode 2019-2024 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam menilai komposisi pimpinan parlemen saat ini tidak mencerminkan semangat perubahan.

"Terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI, La Nyalla Mattalitti sebagai Ketua DPD RI dan Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR RI tidak mencerminkan semangat perubahan di tubuh legislatif," kata Khoirul Umam, Jumat (4/10).

Menurut dia, selain ketiga nama tersebut merupakan stok lama dalam percaturan politik nasional, masyarakat juga harus waspada jika penempatan ketiga nama tersebut di posisi lembaga tinggi negara itu sebagai trade off atas kepentingan dan keinginan untuk mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia pascareformasi.

"Indikasi trade off itu mulai terlihat saat Ketua MPR terpilih Bambang Soesatyo mulai memunculkan wacana pengembalian GBHN yang berujung pada penghapusan Pilpres langsung, dan mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR," kata dia.

Dia meminta masyarakat sebaiknya tidak terkecoh dengan argumen tentang kompleksitas penyelenggaraan dan mahalnya biaya Pilpres. Sebab, kata dia, harga mahal demokrasi itu merupakan ikhtiar untuk memberikan jaminan hak politik dan kebebasan rakyat untuk menentukan pemimpinnya sendiri.

Bahkan, menurutnya, pemilihan presiden oleh MPR justru akan memfasilitasi terkonsolidasinya kekuatan oligarki untuk mengatur semua model permainan kekuasaan di negeri ini.

"Jika itu terjadi, demokrasi Indonesia akan mengalami kemunduran yang sangat tajam," ujar dia.

Dia mengatakan masyarakat bisa lega memiliki pimpinan parlemen yang baru melalui proses politik yang lancar. Tetapi, masyarakat juga tetap harus kritis dan waspada dalam mengawal perjalanan kepemimpinan legislatif yang baru ini. Dia mengingatkan kinerja ketiga pimpinan lembaga negara tersebut harus tetap sesuai dengan aspirasi rakyat dan semangat reformasi.

Jika ketiganya ikut-ikutan melanggengkan model kerja-kerja legislasi lama, yang gemar bergerak secara senyap untuk memaksakan sejumlah konsep ketatanegaraan dan perundang-undangan yang menabrak aspirasi publik, maka akan berhadapan dengan kekuatan civil society.

"Jika itu terjadi, stabilitas politik akan terganggu dan chaos di akar rumput akan tercipta. Alhasil, alih-alih bisa fokus pada pembangunan ekonomi dan peningkatan investasi asing, pemerintahan justru akan terjebak dalam kontroversi dan perdebatan publik yang tidak produktif," jelas dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement