REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, mengatakan aparat kepolisian cenderung bersikap brutal saat menangani aksi demonstrasi mahasiswa pada 24-30 September lalu. Bahkan, polisi juga bersikap represif kepada petugas medis.
Hal tersebut disampaikan Arif saat menyampaikan laporan di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/10). Arif mewakili tim advokasi untuk demokrasi mengungkap sejumlah temuan di lapangan dan laporan dari para korban kekerasan aparat.
Menurut Arif, pendekatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tampak represif. "Ini tidak hanya terjadi pada 24 September, tetapi juga pada 25 September, bahkan sampai 30 September. Konstelasinya (represif) cenderung meningkat," ujar Arif.
Akibat tindakan brutal aparat, banyak mahasiswa menderita luka-luka. "Catatan kami, tindakan aparat mengarah ke brutalitas. Ada tenaga medis yang melapor ke kami bahwa mereka ditangkap dan ambulans yang mereka gunakan dirusak, " lanjut Arif.
Kemudian, pada 30 September, proses penanganan kepada demonstran menjadi lebih agresif. Ini terindikasi ketika mahasiswa telah meninggalkan lokasi demo, dalam jarak ratusan meter hingga kilometer, aparat masih mengejar dan menangkap mereka.
"Di Universitas Atmajaya, bahkan pos evakuasi bagi mahasiswa saja ditembaki gas air mata. Maka sebenarnya standar apa yang dilakukan oleh aparat ini? Seharusnya kemerdekaan menyampaikan pendapat dilindungi oleh negara," tegas Arif.
Anggota kepolisian menunaikan shalat magrib berjamaah di sela-sela mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (30/9/2019).
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyebut reaksi Menko Polhukam Wiranto saat menyikapi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat lain sama seperti yang dilakukannya saat menghadapi demonstrasi besar-besaran pada 1998 lalu. Choirul menyebut sikap Wiranto yang selalu menyebut unjuk rasa disusupi adalah cara-cara khas Orde Baru (Orba)
"Kalau Pak Wiranto misalnya bolak-balik bicara soal ada orang yang menunggangi aksi mahaiswa dan sebagainya, ini kan narasi yang waktu kami menjadi mahasiswa dulu, yang kami dengar juga seperti itu. Ya kan, waktu aksi mahasiswa 97-98 itu (beliau) bilang bahwa ini ditunggangin, ini disusupin itu, itu disusupin ini. Berulang-ulang seperti itu, " ujar Choirul saat dijumpai wartawan di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (1/10).
Choirul mengungkapkan, saat 1998 lalu dirinya ikut demonstrasi bersama mahasiswa lain. "Kami bertanya-tanya, lho mana ini yang disusupi? Ini kan teman-teman kami sendiri," lanjutnya menegaskan.
Menurut dia, jika pemerintah mencurigai adanya pihak-pihak tertentu yang mencoba menggiring aksi atau memanfaatkan situasi untuk menggagalkan pelantikan Presiden terpilih, dugaan itu harus dibuktikan. Komnas HAM meyakini, pemerintah memiliki kemampuan mumpuni untuk mengungkap pihak yang sengaja ingin mengacaukan keamanan.
"Kalau ada yang menunggangi dan ancam keamanan ya mereka yang harus ditangkap.
Jangan adik-adik mahasiswanya. Jadi ekspresi menjaga keamanan ini jangan sampai salah arah," tuturnya.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebelumnya menjelaskan, tindakan aparat keamanan yang represif terhadap massa aksi unjuk rasa di DPR saat terjadi kerusuhan, pada Selasa (24/9) pekan lalu. Menurutnya, hal itu terjadi karena berkaitan dengan persoalan psikologis aparat keamanan dan juga psikologis massa.
Ia mengatakan, psikologis massa memiliki ambang batas kesabaran, ambang batas emosi, dan juga ambang batas kelelahan. Hal inilah yang memicu tindakan yang tak terkendali baik dari massa maupun dari aparat keamanan.
"Berikutnya aparat juga begitu, meski aparat sudah dilatih, mentalnya sudah disiapkan dan seterusnya. Tapi sekali lagi, ambang batas itu bisa muncul apalagi ini ada prajurit-prajurit baru dari kepolisiaan, ini juga selalu kita waspadai di lapangan. Karena sekali lagi ini berkaitan dengan tingkat kesabaran," jelas Moeldoko di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (25/9).
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian sudah memberikan arahan agar aparat-aparat yang mengamankan unjuk rasa menjauhi tindakan represif. Hal itu diungkapkan oleh apolda DIY Irjen Pol Ahmad Dofiri saat mengamankan Aksi Gajayan di Yogyakarta, Sabtu (28/9).
Dofiri menekankan, jangankan penggunaan peluru tajam, peluru karet saja sebenarnya sudah diminta tidak digunakan. Bahkan, Dofiri merasa penggunaan gas air mata cuma membuang-buang biaya.
"Kita berharap dalam aksi-aksi di Yogyakarta itu (gas air mata) tidak perlu digunakan," ujar Dofiri.