Selasa 01 Oct 2019 15:20 WIB

Kepekaan DPR Terasa Kian Lemah

Setiap UU itu perlu dikaji agar rasa keadilan publik tetap bisa dijaga.

Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ahmad Syafii Maarif

Saya harus mengatakan sesuatu tentang DPR yang diujung masa jabatannya seperti kehilangan kewarasan dan kepekaan dalam mengebut penyelesaian perundang-undangan, seperti revisi UUKPK, RKUHP, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Mineral dan Batubara. Semua UU ini akan sangat menentukan berhasil atau gagalnya pelaksanaan demokrasi dalam bentuknya yang kongkret untuk kepentingan rakyat banyak.

Untunglah untuk RKUHP ditunda pengesahannya oleh presiden. Susah, mereka yang mengaku wakil rakyat jalan yang ditempuhnya sering tidak sesuai dengan kehendak dan penilaian rakyat. Kusutnya suasana bangsa dan negara ini karena kusutnya struktur otak para elite politik.

Sudah menjadi rahasia umum betapa kuatnya pengaruh tangan-tangan kotor dalam setiap pembuatan perundang-undangan di DPR. Dan jauh sebelum itu, saat MPR di awal abad ini melakukan serentetan amandemen terhadap UUD 1945 yang kini beberapa fasalnya dinilai sudah melenceng dari ruh konstitusi asli. Amendemen UUD memang dilakukan di saat sedang menggebunya tuntutan proses demokratisasi di semua lini kehidupan sebagai antithesis terhadap politik authoritarian yang telah merusak sendi-sendi demokrasi terlalu jauh. Tetapi ada produk gerakan reformasi yang bagus, yaitu lahirnya KPK, MK. PPATK, dan KY.

Saya akan membatasi diri untuk menyoroti revisi UU KPK dan pada saatnya nanti akan sedikit menyinggung MK. Berbeda dengan pendapat yang sedang dominan di publik sekarang agar tidak ada revisi UU KPK, saya punya pandangan lain. Bagi saya semua UU sangat tergantung kepada nuansa dan tuntutan zaman. UU KPK No. 30 Th. 2002 dan mulai efektif tahun 2003 memang sudah masanya ditinjau, bukan untuk melemahkan lembaga ini, tetapi untuk mengoreksi beberapa pasalnya yang mencoreng rasa keadilan.

Pimpinan dan pegawai KPK adalah  manusia biasa yang tidak boleh tanpa pengawasan. Mereka bukan manusia suci. Saya sudah lama berpendapat bahwa dibentuknya badan pengawasan untuk lembaga ini bukan sesuatu yang tabu dengan syarat badan ini tidak sampai menyandera lembaga anti korupsi ini.

Kasus-kasus seperti nasib tersangka yang tidak segera diproses ke pengadilan bahkan ada yang sampai mati sebagai tersangka tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus ada SP3, jika memang bukti tidak cukup untuk menjerat tersangka diajukan ke pengadilan. Suara-suara ini harus didengar oleh mereka yang mati-matian anti revisi UU KPK. Kekuasaan KPK selama ini demikian mutlak di tangan manusia yang serba nisbi.

Inilah alasan saya mengapa setiap UU itu perlu dikaji dalam perjalanan waktu agar rasa keadilan publik tetap bisa dijaga dan dijawab dengan cara-cara yang benar.

Hampir sama dengan posisi legal KPK yang super body sekalipun bersifat sementara itu, lembaga MK juga punya kekuasaan mutlak dalam memutus perkara. Ungkapan keputusan MK bersifat final dan mengikat seperti yang tercantum dalam UU MK No. 24 Thn. 2003, Pasal 10 ayat (1) adalah bukti tentang betapa kuatnya posisi MK itu. Oleh sebab itu DPR sebagai badan legislasi bersama presiden perlu memupuk dan meningkatkan kepekaannya dalam memberikan respons terhadap pendapat publik dalam setiap kemungkinan perubahan UU. Tanpa kepekaan ini, rasa keadilan masyarakat luas tidak akan pernah terpenuhi. Lalu mahasiswa berdemo lagi karena merasa tersumbatnya komunikasi dengan lembaga negara. Energi kita banyak terkuras oleh kesalahan cara-cara elite politik mengelola bangsa dan negara ini.

Sekilas tentang MK. Lembaga ini pernah gaduh beberapa tahun yang lalu karena ketuanya main uang tanpa mengingat martabatnya sebagai negarawan yang harus menjaga konstitusi dengan benar, maka pimpinan MK mengambil kebijakan untuk membentuk Dewan Etik, sekalipun tidak ada ketentuannya dalam UU MK. Dewan inilah yang ditugasi mengawasi prilaku Hakim MK agar secara etik tidak melenceng dari ketentuan UU. Memang sudah sangat bejat, manakala seorang Ketua atau Hakim MK dengan standar gaji cukup tinggi, matanya masih juga hijau melihat uang.

Pada Bab II Bagian Kedua Pasal 4 a menjelaskan tugas Dewan Etik: “Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan prilaku Hakim, serta Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim Konstitusi, supaya Hakim tidak melakukan pelanggaran antara lain berupa: 1) melakukan perbuatan tercela; 2) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; 3) melanggar sumpah atau janji jabatan. (Lih. Kepaniteraan dan Sektariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Peraturan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Mekanisme Kerja Dan Tata Pemeriksaan Laporan dan Informasi. Jakarta, 2014, hlm. 7).

Untuk mengembalikan marwah MK perlu waktu beberapa tahun kemudian agar lembaga ini kembali dipercaya publik. Dengan kenyataan ini, bukan saja kepekaan anggota DPR yang lemah, lembaga-lembaga negara lainnya juga tidak kebal dari penyimpangan moral dan etik. Sebuah bangsa barulah dikatakan beradab jika bangsa itu mampu menjaga nilai-nilai moral dan etik. Indonesia sampai sekarang masih rapuh dalam masalah moral dan etik ini!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement