REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Viola Reininda mengatakan anggota DPR Periode 2019-2024 harus benar-benar memperhatikan konstitusionalitas dari produk legislasi yang mereka susun. Konstitusionalitas tersebut bisa dilihat dari dua hal, yakni pemenuhan terhadap syarat formil dan materil.
"Pembentukan UU ke depan harus tetap memperhatikan rambu-rambu prosedural sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan atau UU PPP Nomor 12 Tahun 2011," ujar Viola saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (1/10).
Dia menjelaskan, rambu-rambu prosedural yang dimaksud adalah UU harus direncanakan secara matang dalam program legislasi nasional (prolegnas). Selain itu, dokumen-dokumen terkait pembentukan UU seperti rancangan undang-undang (RUU), daftar isian masalah (DIM), dan catatan rapat pembahasan, harus disebarluaskan dan dapat diakses masyarakat.
Ia juga meminta pembahasannya harus melibatkan partisipasi publik. Dengan demikian, cacat formil dalam pembentukan UU bisa dihindari.
"Jangan sampai, kecacatan formil seperti revisi UU KPK terjadi lagi. Pada penyusunan UU yang lain pun, masyarakat masih kesulitan untuk akses informasi tentang penyusunan UU melalui website resmi DPR, misalnya," lanjut Viola.
Sementara secara substansi atau materi, menurut Viola, pembentuk UU harus memperhatikan materi muatan UU dengan membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan cermat. Dia mengingatkan, jangan sampai pasal-pasal yang pernah dimatikan oleh MK dihidupkan kembali tanpa pertimbangan yang dapat dijustifikasikan secara konstitusional dan rasional.
Ia mencontohkan, dalam RUU KUHP, pembentuk UU masih memasukkan delik penghinaan terhadap lembaga negara. Padahal dalam pengujian UU MD3 Tahun 2018, MK sudah memberi pesan bahwa pasal semacam itu inkonstitusional dan mengancam hak konstitusional warga negara.
"Meskipun putusan MK tersebut ditujukan pada lembaga DPR, tapi value yang dihadapi adalah sama. Ini juga sama seperti penghinaan presiden yang sudah dibatalkan MK di Tahun 2006," kata dia.
Selain itu, Viola menambahkan, pembentuk UU periode selanjutnya hendaknya menyelesaikan pekerjaan rumah judicial order yang diberikan oleh MK. Misalnya, ia menambahkan, putusan MK harus dimasukkan ke dalam revisi UU.
Hal ini seperti dilakukan pembentuk UU yang sudah merevisi aturan batas usia minimal UU Perkawinan yang sejalan dengan amar putusan MK Tentang UU Perkawinan Tahun 2018. Salah satu judicial order yang juga penting adalah pembentukan peradilan khusus pilkada yang diamanatkan pada Tahun 2013.
Hal ini cukup mendesak mengingat perhelatan Pilkada 2020 sudah di depan mata. "Jadi, dibutuhkan desain instrumen electoral justice dengan badan peradilan khusus ini," kata dia.
Viola juga berharap, materi UU yang dihasilkan harus didasari tiga landasan, yakni filosofis, yuridis dan sosiologis. Unsur filosofis memberikan bingkai supaya aturan sejalan dengan Pancasila dan cita-cita bangsa dalam pembukaan UUD 1945.
Unsur yuridis menjelaskan kebutuhan untuk mengatasi persoalan hukum atau mengisi persoalan hukum. Landasan sosiologis memperlihatkan aturan yang ada bisa menjawab tantangan praktis.
"Kebanyakan UU tentang politik di DPR tidak menunjukkan tiga landasan itu," kata dia.
Ia menyebut pembentukan UU hanya mempertimbangkan landasan pragmatis dan kepentingan golongan tertentu. Misalnya, revisi UU MD3 yang disahkan tahun ini untuk menambah pimpinan MPR menjadi 10 kursi.
"Kalau lihat fungsi MPR dalam UUD 1945, hal ini tidak proporsional. Fungsi MPR sifatnya occasional saja, seperti melantik presiden dan wapres, amendemen UUD, memutus usul DPR soal impeachment," tuturnya.