REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- I La Galigo atau Galigo adalah sebuah epik mitologi penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan. Epik mitologi itu awalnya sebuah tradisi lisan. Baru kemudian ditulis antara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi dengan Bahasa Bugis kuno.
Epik mitologi Bugis ini menceritakan kisah asal usul manusia di Bumi dan banyak cerita-cerita epik dalam cerita turunannya. Epik yang awalnya menceritakan dewa-dewa tersebut seiring masuknya Islam ke tanah Bugis mengalami perubahan.
Penulis Buku Islamisasi Bugis, Andi Muhammad Akhmar menjelaskan, yang terjadi pada I La Galigo hampir sama dengan epik Mahabarata yang disisipi ajaran Islam oleh Wali Songo di tanah Jawa. Di dalam epik I La Galigo ada Dewa Sang Pencipta yang kedudukannya paling tinggi bernama Dewa Paotoe.
"Pada saat Islam masuk ke daerah Bugis, para penyair Islam memanfaatkan epik mitologi itu untuk melakukan Islamisasi," kata Akhmar kepada Republika.co.id di Perpustakaan Nasional usai bedah buku Islamisasi Bugis, Jakarta, Sabtu (28/9) yang digelar IKA Unhas Jabodetabek.
Bedah dan diskusi buku Islamisasi Bugis
Ia menceritakan, para penyair Islam membuat tokoh-tokoh di dalam I La Galigo seolah telah memeluk Islam. Tapi nama-nama tokohnya tetap tidak diubah. Para penyair Islam justru menambah tokoh-tokohnya dengan menciptakan tokoh-tokoh baru dalam I La Galigo.
Sama seperti epik Mahabarata yang tokoh-tokohnya tidak diubah. Tetapi Wali Songo menambahkan tokoh Semar dan anak-anaknya dalam Mahabarata. Jadi di dalam I La Galigo, Dewa Paotoe tetap namanya tidak diubah. Hanya saja Paotoe telah mengucapkan doa-doa sesuai ajaran Islam.
Oleh para penyair Islam, Akhmar menerangkan, Dewa Paotoe diceritakan membacakan Asmaul Husna. "Karena I La Galigo tradisi lisan yang dibacakan ke pada publik, sehingga orang-orang akan mendengar Asmaul Husna atau nama-nama Allah itu," ujarnya.
Melalui metode seperti itu para penyair dan intelektual Islam menyebarkan ajaran-ajaran Islam ke masyarakat Bugis. Penulis buku Islamisasi Bugis meyakini Islam tidak disebarkan dengan perang di Bugis, tapi disebarkan dengan pendekatan budaya. Sebab jalan perang tidak akan berhasil mengislamkan Bugis jika melihat karakter masyarakat Bugis.
Namun, Akhmar menyampaikan, tidak diketahui siapa tokoh penyair dan ulama Islam yang menyisipkan ajaran-ajaran Islam ke dalam epik I La Galigo. Sebab naskah I La Galigo yang banyak cabang ceritanya tersebar di masyarakat. Bahkan banyak naskah I La Galigo yang telah dibawa ke Eropa.
Menurutnya, banyak yang mengatakan Islamisasi Bugis secara formal dimulai pada abah ke-17. "Tapi jauh sebelum itu diperkirakan masyarakat Bugis sudah ada yang memeluk Islam orang per orang, karena jauh sebelum abad 17, sudah ada prosis Islamisasi Bugis.
Penulis buku ini menduga, I La Galigo disisipi ajaran-ajaran Islam bisa sebelum atau setelah abad 15. Karena pada masa itu masyarakat Bugis telah berinteraksi dengan Islam.
Jika penulis buku Islamisasi Bugis meyakini abad ke-15 masyarakat Bugis telah memeluk Islam, hal ini sejalan dengan cerita orang-orang Makassar yang mencapai Benua Australia sejak abad ke-15. Berdasarkan catatan Republika.co.id, cerita ini diceritakan dalam buku Muslim Melayu Penemu Australia yang ditulis DR Teuku Chalidin Yacob terbitan MINA Publisihing House 2016.