Kamis 26 Sep 2019 19:59 WIB

Anak Punk Demo Tolak Pasal Gelandangan Didenda di RKUHP

Sekitar 30-an anak punk melakukan aksi di dekat Gedung DPR/MPR.

Anak punk (ilustrasi)
Foto: Antara/Muhammad ryan Wibowo
Anak punk (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 30 orang mengatasnamakan perwakilan anak Punk Jabodetabek, Kamis (26/9), melakukan aksi demonstrasi di dekat Gedung DPR-MPR RI menolak disahkannya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Mereka menolak adanya adanya pasal pengenaan denda terhadap gelandangan.

"Dari berbagai pasal itu kan ada yang kontroversi, seperti gelandangan didenda Rp1 juta, itu kalau misalkan gelandangan didenda Rp1 juta, itu uangnya dari mana," ujar salah seorang pendemo, Yusuf Bahtiar saat menyampaikan pendapatnya di Jakarta, Kamis.

Baca Juga

Pasal yang dimaksud Yusuf adalah Pasal 432 dalam RKUHP, yang berbunyi bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (Rp 1 juta). Yusuf menilai pasal tersebut adalah pasal karet karena dapat menimbulkan kekhawatiran dan kerawanan terhadap orang-orang yang berada di jalanan.

Menurut dia, pasal tersebut harus ditolak karena menimbulkan kerugian bagi anak-anak punk yang biasa beraktivitas di jalan. "Kadang kita jalan ke kota lain, terus dalam posisi kita enggak bawa apa-apa. Pastinya kita kan seperti gelandangan. Lantas seperti apa nasib kita? Apakah kita dikenakan denda? Sedangkan kita kan enggak punya uang," ucap dia.

Yusuf dan rekan-rekannya tiba di Jalan Gatot Subroto, tepatnya di depan Restoran Pulau Dua, Senayan sekitar pukul 17.30. Mereka tidak bisa mendekat ke depan Gedung DPR-MPR RI lantaran akses jalan telah ditutup oleh aparat kepolisian dari Sabhara Polda Metro Jaya.

Para anak punk tersebut kemudian melakukan demonstrasi dengan berorasi dan membentangkan poster berisi tuntutan kepada anggota DPR untuk membatalkan RKUHP. Aksi mereka hanya berlangsung sekitar 10 menit. Anak-anak punk itu kemudian memilih untuk mengakhiri demonstrasi dan berlalu ke arah Semanggi. Aksi demonstrasi tersebut berlangsung kondusif dan tertib.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sebelumnya mempertanyakan mengapa pasal penggelandangan di RKUHP baru diributkan sekarang. Padahal, menurutnya, sejak dulu masyarakat tidak ribut soal pasal pidana terkait gelandangan yang sudah ada dalam KUHP.

"Mengapa tidak ribut kita dulu dalam gelandangan dapat dipidana? Rupanya ada eksploitasi besar-besaran tentang penggelandangan sampai sekarang?" kata Yasonna.

Yasonna justru menilai, peraturan terkait gelandangan diperbaiki dalam Rancangan KUHP yang baru. Pasal dalam RKUHP itu, menurut Yasonna, mengamanatkan gelandangan dan pengemis akan dikirim ke rumah panti, dididik menjadi orang bekerja.

Dengan adanya aturan seperti itu, Yasonna mengklaim bahwa RKUHP lebih manusiawi ketimbang KUHP yang lama. Apalagi, di dalam pembahasannya melibatkan mantan Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia, Harkristuti Harkrisnowo.

"Di dalam pembahasannya ada Profesor Tuti selaku mantan Dirjen HAM, yang sangat progender," kata Yasonna.

Menurut Yasonna, datangnya kecurigaan bahwa RKUHP dapat mempidana gelandangan dan pengemis adalah ilusi yang diciptakan saat ada perbaikan aturan di dalam KUHP itu yang menurutnya lebih berat hukumannya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement