REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini mahasiswa mendadak tergerak menolak revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Rancangan Undang-undang (RUU) lainnya. Mereka melakukan aksi unjuk rasa yang tersebar di beberapa daerah. Praktis aksi penolakan yang masif ini mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh nasional.
Direktur The Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid berpendapat bahwa aksi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan fenomena yang menarik. Itu karena, kata Yenny, para demonstran bergerak atas keinginannya sendiri. Alasannya, selama ini elite politik tidak melibatkan mereka dalam menentukan kebijakan.
"Ini harus jadi refleksi bagi para elite politik. Karena selama ini mahasiswa merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka sendiri," kata putri mendiang Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, Jakarta Pusat, Rabu (25/9).
Yenny melanjutkan, ia khawatir jika aspirasi para mahasiswa dan aktivis tidak dikelola akan menjadi gelombang yang lebih besar lagi. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah tidak menyudutkan mereka yang melakukan unjuk rasa telah telah ditunggangi pihak lain.
"Juga jangan menuduh ada motif politik tertentu. Saya minta retorika seperti itu harus dihindari," tegas Yenny Wahid.
Kendati demikian, Yenny Wahid menegaskan, mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya harus dilakukan secara damai. Kemudian juga harus dalam koridor hukum serta tidak menggunakan aksi kekerasan dengan tetap mewaspadai penyusupan pihak-pihak lain yang ingin mencederai tujuan murni aksi unjuk rasa mahasiswa.
"Menyerukan kepada segenap komponen bangsa agar tetap mengedepankan pendekatan dialog dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dengan dilandasi semangat kekeluargaan yang merupakan ciri kepribadian Bangsa Indonesia," tutup Yenny.