REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini, kewenangan baru untuk dapat mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam amanat revisi UU 20/2001 mengancam terhentinya proses penyidikan kasus korupsi yang tak kunjung diajukan ke persidangan. Namun, Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, hanya satu kasus yang besar peluang bakal mendapatkan SP3 jika UU KPK revisi resmi diundangkan oleh pemerintah.
“Soal SP3 sebenarnya ini dapat dijelaskan dengan baik. Bahwa dari semua kasus yang di KPK yang berlama-lama sampai nggak ada SP3-nya itu berapa jumlahnya? Paling cuma satu (kasus),” terang Laode di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/9).
Laode tak membeberkan kasus yang terancam dihentikan penyidikannya itu. Tetapi Laode menjelaskan, terkatungnya satu kasus tersebut, bukan lantaran KPK membiarkan. Melainkan, karena persoalan teknis mengumpulkan sejumlah bukti-bukti yang ada di luar negeri.
“Pihak luar negeri yang seharusnya men-support (mendukung) data ke kita (KPK), tidak memberikan informasi yang cukup,” terang Laode.
Akan tetapi, ia menegaskan kasus yang terancam dapat dihentikan itu, tak bisa dijadikan alasan untuk memberikan nilai buruk terhadap kinerja KPK. Apalagi, kata dia, menjadi peluru untuk mengurangi kewenangan KPK, pun melemahkan KPK lewat revisi UU KPK.
Sebab, kata dia, ribuan kasus dan perorangan yang selama ini dalam penyelidikan dan penyidikan KPK, kerap mendapat vonis sampai ke pengadilan. “Jadi jangan satu kasus itu dijadikan, digeneralisir ke seluruh kasus-kasus di KPK,” terang Laode.
Di luar itu, kata Laode, mengenai SP3 dalam revisi UU KPK, sebetulnya lembaga yang ia pimpin saat ini, bukannya menolak. “SP3 ini bukan keberatan keras dari KPK,” ujar dia.
Laode mengatakan, SP3 tersebut akan menjadi kewenangan baru bagi lembaganya. Hanya, menurut dia, kewenangan itu, menyimpan potensi yang rawan disalah gunakan. Baik di internal KPK, maupun dalam wadah dalam struktur baru di KPK yang akan datang.
“Kita mau saja kewenangan (dapat mengeluarkan SP3). Tetapi sebenarnya, yang paling (penting) dari itu, jangan sampai juga disalahgunakan adanya SP3 ini,” ujar dia.
Laode tak ingin, SP3 di KPK, bakal seperti SP3 yang selama ini terjadi di lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. “Karena memang sejarahnya di tempat lain, banyak SP3 ini dijadikan bahan tawar menawar (kasus). Kita tidak mau itu terjadi di KPK,” sambung dia.
Persoalan SP3 memang menjadi perdebatan selama revisi UU KPK. KPK yang sejak terbentuk tak punya kewenangan SP3, dianggap telah menganiaya tersangka korupsi yang tak kunjung diadili di persidangan. Alasan itu pula yang menjadi salah satu alasan keras bagi pemerintah dan DPR merivisi UU 20/2001. Meski KPK menolak kewenangan SP3, namun akhirnya, saat pengesahan di DPR RI, 17 September lalu, UU revisi tetap memberikan KPK kewenangan untuk menghentikan penyidikan.
Dalam Pasal 40 UU KPK revisi, KPK dinyatakan boleh mengeluarkan SP3 terhadap kasus-kasus yang tak diajukan ke meja persidangan. Pasal tersebut, mengatur tentang prosedur SP3 keluaran KPK yang harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas (Dewas), badan baru dalam struktur KPK. KPK, pun wajib mengumumkan SP3 tersebut, setelah Dewas memberikan persetujuan untuk menghentikan penyidikan perkara korupsi.
Anggota Komisi III DPR RI Junimart Girsang menyampaikan, penggunaan Pasal 40 UU KPK hasil revisi dapat berlaku surut. Menurut dia, penerbitan SP3 oleh KPK, dapat diterapkan pada kasus-kasus yang pernah dalam penyelidikan dan penyidikan di KPK sebelum undang-undang revisi diberlakukan.
Namun, politikus dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu menerangkan, tetap ada kaidah umum dalam penerbitan penghentian perkara itu. “Penerbitan SP3 oleh KPK itu seperti pada KUHAP (Kitab Hukum Acara Pidana),” terang dia saat dihubungi.
Junimart menerangkan, kaidah umum tersebut mengacu pada UU hasil revisi itu sendiri. Ia menerangkan, dalam Pasal 40 selain mengatur tentang kewenangan baru KPK dalam SP3, juga diterangkan soal kadaluwarsa kasus yang dapat dihentikan penyidikannya.
Yaitu, penanganan kasus korupsi di KPK yang sudah setahun dan tak diajukan ke persidangan. Yang paling penting, kata Junimart, SP3 itu diajukan oleh pihak yang meminta penghentian penyidikan. “SP3 diajukan dari pihak tersangka,” ujar dia.
Tetapi, Junimart menambahkan, penerbitan SP3 tersebut sebetulnya tak merugikan KPK. Karena, adanya SP3 tak mengharamkan KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan ulang. KPK, kata dia, dapat kembali membuka kasus yang sama, pun dengan menetapkan tersangka yang sama, jika penyelidikan kembali menyajikan bukti-bukti baru terkait dugaan praktik korupsi yang pernah disidik sebelumnya.