Selasa 24 Sep 2019 20:02 WIB

'Kekerasan Remaja Turut Dipengaruhi Sistem Pendidikan'

Sistem pendidikan Indonesia cenderung menuntut seorang anak memiliki keseragaman.

Rep: my28/ Red: Fernan Rahadi
 Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang juga Dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Candra, memberikan materinya pada Seminar Pendidikan Abad 21 Gerakan Sekolah Menyenangkan, Senin (7/8).
Foto: Nico Kurnia Jati
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) yang juga Dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Candra, memberikan materinya pada Seminar Pendidikan Abad 21 Gerakan Sekolah Menyenangkan, Senin (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kasus tewasnya seorang remaja akibat pengeroyokan bermotif perselisihan antargeng di Yogyakarta baru-baru ini sangat disayangkan. Psikolog remaja, Novi Poespita Candra, menyebut sistem pendidikan Indonesia sebagai salah satu faktor munculnya berbagai tindak kekerasan remaja belakangan ini.

Novi menuturkan sistem pendidikan di Indonesia turut serta memberikan kontribusi agresivitas dan patologi sosial sehingga memunculkan angka kriminalitas yang besar di kalangan anak muda Indonesia. 

"Sistem pendidikan di Indonesia tidak menstimulasi area empati otak seorang anak remaja. Sehingga, remaja tidak mampu membuat keputusan dengan baik benar serta (tidak mampu) memikirkan dampak yang terjadi akibat perilaku yang dilakukan," kata dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu saat dihubungi Republika, Selasa (24/9) petang.

Sistem pendidikan Indonesia, kata dia, cenderung menuntut seorang anak memiliki keseragaman karena penilaian yang diberikan berdasarkan kemampuan nilai akademik. Sehingga, tidak muncul apresiasi terhadap anak.

“Tidak dihargai kesukaan atau keahlian lain. Penyeragaman tersebut menyebabkan anak berkembang tidak sesuai keinginan mereka," tuturnya.

Remaja yang dapat melakukan tindakan pembunuhan menandakan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki rasa empati. “Kenal atau tidak, kemampuan untuk membunuh menandakan bahwa remaja tersebut sudah mati area empatinya,” kata salah satu pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu.

Novi juga menyayangkan upaya yang dilakukan negara hanya melalui pendekatan hukum, yakni menjatuhkan hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Padahal langkah penting yang perlu diupayakan adalah tindakan preventif dengan mengubah paradigma dan standarisasi pendidikan di Indonesia. 

“Saya rekomendasikan untuk perubahan paradigma dari standarisasi atau penyeragaman bahwa kesuksesan karena nilai akademik, ke well being, yaitu pengembangan secara utuh. Dengan demikian muncul kompetensi atas keunikan dirinya sendiri,” tuturnya.  

Saat ini peristiwa kekerasan yang dilakukan remaja meningkat. Sebagaimana data yang diperoleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), peristiwa pembunuhan sesama remaja termasuk kategori sepuluh peristiwa kekerasan yang mengkhawatirkan di Indonesia. 

Sebelumnya, Polresta Yogyakarta telah mengamankan sejumlah pelaku pengeroyokan hingga tewas terhadap seorang pelajar bernama Egy Hermawan (17 tahun). Sebanyak tujuh pelaku yang merupakan pelajar SMA dan SMK telah ditangkap. Sedangkan dua lainnya hingga berita ini diturunkan masih dalam pencarian polisi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement