Selasa 24 Sep 2019 10:54 WIB

Mengejar Awan demi Hujan

Setelah beberapa hari tim gabungan menyemai awan, hujan turun di sejumlah daerah.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Friska Yolanda
  Petugas menuangkan garam semai yang digunakan untuk operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan di Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Selasa (14/1).(Republika/Rakhmawaty La'lang)
Petugas menuangkan garam semai yang digunakan untuk operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan di Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Selasa (14/1).(Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di beberapa daerah di Sumatra dan Kalimantan yang berlangsung selama beberapa bulan telah menyebabkan penurunan kualitas udara. Sejumlah upaya dilakukan untuk mengembalikan kondisi seperti semula.

Salah satu yang dilakukan adalah melakukan penyemaian garam di awan menggunakan pesawat. Langkah tersebut dinamakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai teknologi modifikasi cuaca alias TMC.

Selain garam, pesawat memegang peranan sentral untuk pelaksanaan TMC itu. Untuk itu, TNI Angkatan Udara (AU) ikut turun tangan membantu pemadaman karhutla. Setidaknya ada empat pesawat milik TNI AU yang digunakan untuk menyemai garam di atas awan.

"Kita mengerahkan empat pesawat. Satu hercules, satu CN-295, dan dua pesawat jenis Cassa. Hercules dan CN itu dari Halim, yang Cassa itu dari malang," ujar Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau), Marsma TNI Fajar Adriyanto, kepada Republika.co.id, Selasa (24/9).

Fajar mengatakan, empat pesawat tersebut dikerahkan untuk melaksanakan TMC. Agar dapat terlaksana dengan baik, TNI AU melakukan modifikasi di pesawat-pesawat tersebut. Mereka mambuat lubang dan konsul untuk mengaduk garam dengan bahan antigumpalan.

"Alhamdulillah sejak empat hari lalu ada hasilnya. Ada hujan di Dumai, di beberapa daerah di Riau. Alhamdulillah di Kalimantan juga sudah hujan," tuturnya.

Penerbang pesawat tempur F-16 Figthing Falcon itu mengatakan, satu pesawat dapat melakukan penerbangan sebanyak dua hingga tiga kali setiap harinya. Ia memberikan contoh, pesawat CN-295 sudah melakuan sembilan kali perjalanan dalam enam hari terakhir.

"Tergantung lihat awan juga. Jadi yang bagus memang pagi hari pas awan masih kumpul. Setelah kita sebarkan dalam waktu enam jam biasanya terjadi hujan," terang dia.

Menurut Fajar, pelaksanaan TMC ini memang amat tergantung dengan alam, yakni kandungan air yang ada di awan. Awan dengan kandungan air yang cukup tidak bisa dikumpulkan di suatu tempat oleh manusia. Meski garam untuk mengikat kandungan air di awan sudah ditabur, jika kandungan airnya tidak cukup maka air-air tersebut tidak turun.

"Kita ngejar-ngejar awan istilahnya. Di mana ada awan, kita minta data sama BMKG. Nanti mereka akan lapor ke kita, kita akan mengejar awan di sana," katanya.

Karena itu, pelaksanaan TMC perlu koordinasi yang baik di antara pemangku kepentingan. TNI AU melakukan koordinasi dengan tiga lembaga lain, yakni BNPB, BPPT, dan BMKG. Fajar mengatakan, koordinasi di antara keempatnya amat penting.

Fajar berharap, ke depan karhutla tidak lagi terjadi di Bumi Pertiwi. Langkah preventif, kata dia, sudah sepatutnya dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dari pada harus memadamkan apa yang sudah terbakar.

"Mudah-mudahan masyarakat sudah sadar tidak bakar hutan, perusahaan-perusahaan yang bakar sudah tidak ada," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement