REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan perlu ditunda pada DPR periode 2014—2019. Sebab, ada sejumlah catatan dari fraksi-fraksi di Komisi II DPR yang akhirnya semua fraksi sepakat kalau RUU tersebut masih butuh pendalaman.
"Kami tidak setujui untuk masuk agenda di rapat kerja (raker). Karena pengambilan putusan tingkat I harus hari ini. Jadi, ditunda," ujar Mardani di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (23/9).
Berdasarkan draf akhir Panja RUU Pertanahan pada 9 September 2019, dia berkesimpulan draf tersebut lebih menitikberatkan pada upaya meningkatkan iklim investasi darpada aspek pemerataan ekonomi dan keadilan agraria. "Secara umum, kami ingin dari RUU Pertanahan ada kepastian pelaksanaan reforma agraria. Dalam RUU tersebut, tidak jelas rasio gini penguasaan tanah ada berapa," ujar Mardani.
Setelah pemeriksaan dengan aturan hak guna usaha yang dahulu di naskah akademiknya maksimal perkebunan 10.000 hektare. Kemudian perumahan 200 hektare, kemudian pertanian 50 hektare, selanjutnya tiba-tiba hilang semua sesudah adanya amanat presiden (ampres).
Sesudah adanya ampres, kata dia, kewenangan penentuan diserahkan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Menurut dia, terlalu besar kewenangan yang diberikan kepada menteri.
"Kami ingin limitasinya jelas sehingga penguasaan tanah negara bisa untuk tanah objek reforma agraria (TORA)," ujar Mardani.
Menurut dia, Fraksi PKS sendiri mengajukan delapan catatan yang membuat RUU ini belum tepat untuk disahkan. Pertama, tidak ada upaya konkret untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.
Kedua, ada kecenderungan memberikan banyak kemudahan investasi bagi pemegang HGU, HGB, dan hak pakai berjangka waktu. Kemudian, tidak ada upaya untuk memprioritaskan pemberian hak pakai kepada koperasi buruh tani, nelayan, usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan masyarakat kecil lainnya.
Keempat, tidak adanya upaya yang konkret untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan warga yang telah disertifikasi melalui program pemerintah. Hal itu dinilai menyebabkan kecenderungan masyarakat yang tanahnya telah disertifikasi akan mengagunkan atau menjual tanahnya guna memenuhi kehidupan sehari-hari.
Kelima, tidak adanya upaya konkret untuk mempercepat pengakuan tanah hukum adat yang menjadi amanat Putusan MK Nomor 35/2012. "Pasal 6 draf RUU tentang Pertanahan itu bahkan diduga dapat mereduksi ruang lingkup tanah ulayat. Ruang lingkupnya hanya pada kawasan nonhutan," ujar Mardani dikutip dari situs resmi Partai Keadilan Sosial, Senin.
Selanjutnya, terhapusnya status tanah hak bekas swapraja, yang selanjutnya akan kembali menjadi tanah negara. Ketujuh, tidak ada kebijakan untuk memberantas mafia tanah dan mengendalikan nilai tanah.
Terakhir, terbatasnya akses publik dalam pendaftaran tanah. Dalam Pasal 46 Ayat (9) Huruf (a), akses masyarakat untuk mengetahui daftar pemilik hak atas tanah sangat dibatasi, kecuali untuk penegak hukum. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat tidak dapat turut berpartisipasi mengawasi pihak swasta yang memiliki tanah melebihi batas maksimum sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah.
Mardani mengatakan catatan juga datang dari fraksi partai politik yang lain di Komisi II DPR. Menurut dia, RUU pertanahan sangat berat untuk segera disahkan di periode sekarang.
"Masing-masing juga banyak catatan, jadi karena masih banyak catatan, saya pribadi melihat agak berat dipaksakan pada tanggal 30, apalagi tingkat urgensinya belum, pentingnya iya, urgensinya belum. Makanya, semua sudah mendingan (ditunda)," katanya.