Senin 23 Sep 2019 02:45 WIB

Langit Merah di Jambi Fenomena Langka, Ini Penjelasan BNPB

BNPB mengimbau warga Muaro Jambi tetap menggunakan masker.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Warga berada di pekarangan rumahnya yang diselimuti kabut asap karhutla, Puding, Kumpeh Ilir, Muarojambi, Jambi, Ahad (22/9/2019).
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Warga berada di pekarangan rumahnya yang diselimuti kabut asap karhutla, Puding, Kumpeh Ilir, Muarojambi, Jambi, Ahad (22/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari terakhir, beredar video viral di masyarakat gambar langit di Muaro Jambi berwarna merah akibat sinar matahari tertutup asap tebal. Menurut satelit Himawari, fenomena tersebut diakibatkan oleh banyaknya titik panas (hotspot) dan sebaran asap tebal.

Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengimbau masyarakat tetap menggunakan masker. Sebab, bahayanya sama seperti menghirup asap karena memerahnya langit akibat butiran polutan memantulkan sinar matahari.

Baca Juga

"Bahayan sama dengan menghirup asap, jadi gunakan masker. Karena asap jadi ya harus pakai masker," ujar Agus kepada Republika, Ahad (22/9).

Ia mengatakan, memerahnya langit merupakan fenomena langka karena ukuran butiran polutan sama dengan panjang gelombang sinar merah. Menurutnya, fenomena itu kemungkinan beberapa kali akan terjadi sepanjang asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus terjadi.

"Kalau asap masih banyak kemungkinan akan terjadi terus fenomena langit merah," kata Agus.

Berdasarkan analisis citra satelit Himawari-8, asap dari kebakaran hutan dan lahan itu berbeda dari daerah lain yang juga mengalami kebakaran. Wilayah lain pada satelit tampak berwarna cokelat, tetapi di Muaro Jambi menunjukkan warna putih yang mengindikasikan bahwa lapisan asap sangat tebal.

Hal itu dimungkinkan karena karhutla yang terjadi di wilayah tersebut, terutama pada lahan-lahan gambut. Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto menjelaskan, tebalnya asap juga didukung oleh tingginya konsentrasi debu partikulat polutan berukuran kurang dari 20 mikron (PM10).

"Jika ditinjau dari teori fisika, langit berwarna merah ini, disebabkan oleh adanya hambutan sinar matahari oleh partikel mengapung di udara yang berukuran kecil disebut aerosol, dikenal juga istilah 'hamburan mie'," kata Siswanto, Ahad (22/9).

Selanjutnya, 'hamburan mie', terjadi jika diameter aerosol dari polutan di atmosfer sama dengan panjang gelombang dari sinar tampak matahari. Selain itu, panjang gelombang sinar merah berada pada ukuran 0,7 mikrometer.

"Kita mengetahui bahwa konsentrasi debu partikulat polutan berukuran kurang dari 10 mikrometer sangat tinggi di sekitar Jambi, Palembang, dan Pekanbaru. Tetapi langit yang berubah merah terjadi di Muaro Jambi. Ini berarti debu polutan di daerah tersebut dominan berukuran sekitar 0,7 mikrometer atau dengan konsentrasi sangat tinggi," kata Siswanto.

Selanjutnya, ia menjelaskan, selain konsentrasi tinggi, sebaran partikel polutan ini juga luas untuk dapat membuat langit berwarna merah. Lalu, mengapa dikatakan ukuran partikel bisa lebih dari 0,7 mikrometer? Ini dikarenakan mata manusia hanya dapat melihat pada spektum visibel (0,4-0,7 mikrometer).

"Tahun 2015, di Palangkaraya juga pernah diberitakan beberapa kali mengalami langit berwarna oranye akibat kebakaran hutan dan lahan, yang berarti ukuran debu partikel polutan (aerosol) saat itu dominan lebih kecil / lebih halus (fine particle) daripada fenomena langit memerah di Muaro Jambi kali ini," katanya menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement